Ilustrasi. Foto: Freepik.
London: Pasar tenaga kerja Inggris mengalami pelemahan signifikan, ditandai dengan tingkat pengangguran yang mencapai 4,7 persen pada periode Maret-Mei 2025, tertinggi dalam empat tahun terakhir. Kondisi ini dipicu oleh kombinasi kenaikan biaya tenaga kerja dan dampak kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap produk Inggris.
Kenaikan upah minimum nasional dan meningkatnya kontribusi asuransi membebani sektor usaha, khususnya usaha kecil. Sebanyak 16 juta pekerja di sektor ini kini terancam mengalami pemotongan pendapatan atau pemutusan hubungan kerja.
Di sisi lain, tarif impor AS terhadap produk
Inggris meningkat dari 2,5 persen menjadi 10 persen, yang berdampak langsung terhadap kinerja ekspor. Sebanyak 62 persen perusahaan eksportir melaporkan tekanan pada jumlah pesanan serta lonjakan biaya produksi akibat kebijakan tersebut.
Ketidakpastian ekonomi turut memperburuk situasi. Survei Federasi Usaha Kecil (FSB) mencatat 20 persen pelaku usaha kecil telah memangkas jumlah karyawan selama kuartal II-2025. Untuk pertama kalinya dalam 15 tahun, lebih banyak usaha kecil memproyeksikan penyusutan bisnis dibandingkan ekspansi.
(Bendera Inggris. Foto: Vaughan Leiberum/Wikipedia)
Proyeksi dan kritik
Kepala Penelitian Kamar Dagang Inggris (BCC) David Bharier mengungkapkan tingkat pengangguran akan tetap tinggi di angka 4,6 persen hingga 2027. "Perusahaan kesulitan merekrut karena biaya tinggi dan kekurangan keterampilan," jelas David seperti dikutip dari
Xinhua, Senin, 21 Juli 2025.
Kritik terhadap kebijakan pemerintah juga menguat. Ekonom Universitas Birmingham David Bailey menilai kenaikan kontribusi asuransi dan upah minimum tanpa dukungan insentif telah memperburuk kondisi pasar tenaga kerja.
Dalam jangka panjang, sektor manufaktur dan ekspor diperkirakan akan terus tertekan. Pemerintah pun didesak untuk segera menyiapkan paket stimulus bagi usaha kecil serta program pelatihan
tenaga kerja agar mampu merespons tekanan struktural ini.
Kombinasi antara kebijakan domestik yang ketat dan proteksionisme dari AS mempercepat perlambatan ekonomi Inggris. Tanpa intervensi kebijakan yang tepat, risiko terjadinya resesi tenaga kerja dan penurunan produktivitas dapat mengancam proses pemulihan ekonomi pascapandemi. (
Muhammad Adyatma Damardjati)