Ilustrasi penahanan. (Metrotvnews.com)
Caracas: Jaksa Agung Venezuela Tarek Saab mengumumkan bahwa pemerintahnya akan melakukan penyelidikan terhadap Presiden El Salvador Nayib Bukele dan dua pejabat senior lainnya terkait dugaan penyiksaan terhadap migran Venezuela yang sebelumnya ditahan di negara tersebut. Pernyataan ini disampaikan Saab dalam konferensi pers pada Senin, 21 Juli 2025.
Dikutip dari France 24, Selasa, 22 Juli 2025, lebih dari 250 warga Venezuela yang sempat ditahan di penjara terkenal CECOT di El Salvador telah kembali ke tanah air mereka pada Jumat lalu, sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan dengan Amerika Serikat (AS).
Menurut Saab, para tahanan tersebut mengalami berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan seksual, pemukulan, penolakan akses medis, hingga perawatan tanpa anestesi. Mereka juga dilaporkan diberi makanan dan minuman yang membuat mereka jatuh sakit.
Selain Presiden Bukele, dua pejabat El Salvador lainnya yang turut menjadi subjek penyelidikan adalah Menteri Kehakiman Gustavo Villatoro dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Osiris Luna Meza. Saab juga memperlihatkan video testimoni dari beberapa mantan tahanan yang menunjukkan luka-luka mereka seperti gigi yang tanggal, memar, dan bekas luka yang diklaim sebagai hasil dari penyiksaan.
Hingga kini, kantor Bukele belum memberikan komentar resmi, dan Reuters menyatakan belum dapat mengkonfirmasi kebenaran isi video tersebut secara independen. Namun, dua narasumber dalam rekaman tersebut teridentifikasi sebagai mantan narapidana di CECOT.
Menanggapi pernyataan Venezuela, Bukele pada Senin malam mengunggah pernyataan di media sosial, tanpa menanggapi tuduhan penyiksaan.
“Rezim Maduro menerima kesepakatan pertukaran tahanan karena mereka puas dengannya. Kini mereka berteriak marah bukan karena menentang kesepakatan itu, tapi karena mereka baru menyadari bahwa mereka kehabisan sandera dari negara paling berkuasa di dunia,” tulis Bukele di platform X.
Realitas Politik di Venezuela
Para migran Venezuela yang sempat dideportasi ke El Salvador oleh otoritas AS pada Maret lalu, sebelumnya dituduh sebagai anggota geng kriminal Tren de Aragua. Deportasi ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Alien Enemies Act tahun 1798, yang memungkinkan pengusiran tanpa proses imigrasi biasa.
Langkah tersebut menuai kritik tajam dari kelompok pembela hak asasi manusia serta memicu gugatan hukum terhadap pemerintahan Trump. Banyak dari keluarga dan pengacara tahanan membantah bahwa mereka memiliki keterkaitan dengan kelompok kriminal.
Sesampainya di Venezuela pada Jumat lalu, sebagian dari mantan tahanan langsung bertemu kembali dengan keluarganya, meski belum diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Pemerintah menyatakan para pria tersebut akan menjalani pemeriksaan medis dan wawancara sebelum diputuskan status kebebasannya.
Pemerintah juga menegaskan bahwa penahanan mereka di El Salvador sejak awal dianggap ilegal, dan hanya tujuh dari mereka memiliki catatan kriminal berat.
“Saya tidak bisa berhenti memikirkan kelaparan yang dialami anak saya,” ujar Yajaira Fuenmayor, ibu dari Alirio Guillermo Belloso, salah satu mantan tahanan, kepada media lokal dari rumahnya di Maracaibo.
“Saya sudah siapkan salad, arepas panggang favoritnya, dan ada ikan di kulkas untuk digoreng.”
Di sisi lain, pemerintah Venezuela sendiri tak luput dari kritik terkait pelanggaran HAM terhadap tahanan politik di dalam negeri. Pekan lalu, Amerika Serikat mengonfirmasi bahwa 80 warga Venezuela akan dibebaskan dari penjara sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan, yang juga membebaskan 10 warga negara AS.
Menurut organisasi hak hukum Foro Penal, sebanyak 48 tahanan politik telah dibebaskan hingga Senin pagi. “Kami menyesalkan tidak adanya daftar resmi yang memungkinkan verifikasi lebih akurat,” tulis mereka di X, seraya menyebut bahwa beberapa nama dalam daftar tidak tergolong tahanan politik, bahkan termasuk yang telah dibebaskan atau telah meninggal dunia.
Kementerian Komunikasi Venezuela belum memberikan keterangan terkait identitas tahanan yang dibebaskan maupun kemungkinan penerapan tahanan rumah atau alternatif penahanan lainnya.
Sementara itu, koalisi oposisi utama menyambut baik pembebasan tersebut, namun menyatakan bahwa hampir 1.000 orang masih mendekam di penjara Venezuela karena alasan politik, dan 12 orang lainnya baru-baru ini kembali ditangkap, kondisi yang mereka sebut sebagai “pintu putar” bagi tahanan politik di negara itu. (
Muhammad Reyhansyah)
Baca juga:
Mahkamah Agung AS Izinkan Trump Lanjutkan Deportasi Migran ke Negara Ketiga