Pro dan Kontra Keterlibatan Militer dalam Keamanan Siber

Ilustrasi militer pada keamanan siber. (via University of San Diego)

Pro dan Kontra Keterlibatan Militer dalam Keamanan Siber

Riza Aslam Khaeron • 24 March 2025 12:15

Jakarta: Peran militer dalam keamanan siber telah menjadi topik yang semakin relevan di tengah meningkatnya ancaman dunia maya. Di Indonesia, peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam keamanan siber secara resmi diakui dalam Undang-Undang (UU) TNI yang baru saja disahkan pada Kamis, 20 Maret 2025.

Berdasarkan laporan dari Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, revisi UU TNI menambahkan dua tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), yakni "membantu menanggulangi ancaman pertahanan siber dan melindungi serta menyelamatkan warga negara Indonesia di luar negeri".

Perubahan ini mengundang perdebatan karena menempatkan militer dalam peran yang sebelumnya dipegang oleh lembaga sipil dan aparat penegak hukum. Di sisi lain, muncul kekhawatiran akan dampak militerisasi keamanan siber terhadap privasi dan kebebasan sipil. Berikut ulasan secara mendalam pro dan kontra keterlibatan militer dalam keamanan siber.
 

Latar Belakang Keterlibatan Militer dalam Keamanan Siber

Mengutip Ian Wallace dalam artikel "The Military Role in National Cybersecurity Governance" yang dipublikasikan oleh Brookings Institution pada 16 Desember 2013, Wallace menjelaskan bahwa ancaman siber modern tidak mudah dikategorikan sebagai ancaman domestik atau eksternal.

Ancaman siber sering kali berasal dari luar negeri, sehingga sulit bagi aparat penegak hukum untuk menindak secara efektif. Wallace mencatat bahwa ancaman siber dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama, yaitu:
  • Espionase
  • Subversi
  • Sabotase
  • Kejahatan Siber
  • Perang Siber (dalam kasus yang sangat terbatas)
Tantangan utama dalam keamanan siber saat ini meliputi ancaman persisten tingkat lanjut (APT) yang berlangsung dalam jangka waktu lama untuk mencuri data militer atau pemerintah secara bertahap, serangan dari dalam (insider threat) yang dilakukan oleh individu dalam organisasi militer atau pemerintahan karena manipulasi atau pemerasan, serangan DDoS yang bertujuan untuk melumpuhkan sistem dengan membanjiri lalu lintas jaringan, dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) serta machine learning (ML) oleh penyerang.

Menurut Kiana Seitz dalam artikel "Exploring the Vital Role of Cybersecurity in the Military" yang dipublikasikan oleh Lighthouse Labs pada 28 Agustus 2024, teknologi AI dan ML memungkinkan penyerang untuk mengidentifikasi pola, kelemahan sistem, dan melakukan serangan otomatis dengan tingkat akurasi tinggi.

Dalam beberapa kasus, infrastruktur kritis seperti jaringan listrik, sistem komunikasi, dan transportasi menjadi sasaran utama penyerang.

Namun, menurut Wallace, sebagian besar ancaman siber tidak mencapai tingkat yang dapat dianggap sebagai tindakan perang, sehingga respons militer sering kali tidak tepat atau bahkan tidak sah secara hukum.
 
Baca Juga:
Keberadaan TNI Dinilai Dibutuhkan Hadapi Ancaman Siber dan Terorisme
 

Pro Keterlibatan Militer dalam Keamanan Siber

1. Kemampuan dan Sumber Daya yang Unggul

Militer memiliki kapasitas yang jauh lebih besar dibandingkan lembaga sipil dalam menangani serangan siber berskala besar. Wallace mencatat bahwa "militer memiliki kemampuan sinyal intelijen yang paling canggih, dan informasi yang mendukung operasi siber paling maju."

Hal ini menjadikan militer sebagai aktor yang efektif dalam menghadapi serangan terhadap infrastruktur penting seperti sistem keuangan, transportasi, dan komunikasi.

2. Respons Cepat terhadap Serangan Skala Besar

Militer memiliki keunggulan dalam hal kecepatan dan koordinasi dalam menanggapi serangan siber berskala besar. Dengan struktur komando yang terorganisir dan kesiapan operasional, militer dapat merespons lebih cepat dibandingkan lembaga sipil yang terbatas oleh birokrasi dan aturan hukum.

3. Perlindungan Terhadap Infrastruktur Kritis

Serangan terhadap infrastruktur vital seperti jaringan listrik dan sistem keuangan dapat menyebabkan kekacauan nasional. Keterlibatan militer dalam pengamanan infrastruktur ini dapat memperkuat ketahanan nasional terhadap ancaman eksternal.
 

Kontra Keterlibatan Militer dalam Keamanan Siber

1. Militerisasi Keamanan Domestik

Wallace memperingatkan bahwa penggunaan militer dalam keamanan siber berisiko "memiliterisasi" ruang domestik, yang dapat mengikis supremasi sipil dan memperluas pengaruh militer dalam urusan sipil.

"Jika militer terlalu dominan dalam menangani keamanan siber, maka risiko terhadap privasi dan kebebasan sipil akan meningkat," kata Wallace.

2. Crowding-Out Effect (Efek Menggeser Peran Sipil)

Ketergantungan berlebihan pada militer dapat mengurangi insentif bagi sektor swasta dan lembaga sipil untuk membangun kapasitas keamanan siber yang mandiri. Wallace mencatat bahwa "jika negara terlalu bergantung pada militer, maka pengembangan solusi jangka panjang di sektor sipil akan terhambat."

3. Potensi Eskalasi Konflik

Serangan balasan terhadap pelaku kejahatan siber yang berbasis di negara lain dapat memicu konflik antarnegara.

"Dalam banyak kasus, pembalasan oleh militer terhadap serangan siber dapat dianggap sebagai tindakan perang oleh negara lain," ujar Wallace.
 

Alternatif Non-Militer

1. Peningkatan Peran Penegak Hukum

Wallace merekomendasikan agar penegak hukum seperti kepolisian dan badan intelijen diberi peran yang lebih besar dalam menangani kejahatan siber. Kerjasama internasional, seperti Konvensi Kejahatan Siber Dewan Eropa tahun 2001, telah membantu mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan siber lintas negara.

2. Peningkatan Kapasitas Sektor Swasta

Pemerintah dapat memberikan insentif kepada sektor swasta untuk meningkatkan pertahanan siber melalui pelatihan, dukungan teknologi, dan pembagian informasi intelijen. Langkah ini akan menciptakan ekosistem pertahanan siber yang lebih mandiri dan terkoordinasi.

3. Pengembangan CERT (Computer Emergency Readiness Teams)

Pemerintah dapat mendirikan lebih banyak CERT untuk merespons insiden siber secara cepat dan efektif. Wallace mencatat bahwa model CERT telah terbukti efektif di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat dalam menangani insiden siber skala besar.

Pengesahan UU TNI pada 20 Maret 2025 yang memasukkan keamanan siber ke dalam tugas pokok militer menunjukkan adanya perubahan strategis dalam pendekatan Indonesia terhadap ancaman siber. Di satu sisi, kehadiran militer dapat memperkuat pertahanan siber nasional, namun di sisi lain, muncul risiko terhadap supremasi sipil dan privasi warga negara.

Sebagaimana dicatat Ian Wallace, keterlibatan militer dalam keamanan siber harus diatur dengan cermat untuk menghindari eskalasi konflik dan pengurangan peran lembaga sipil. Solusi yang paling efektif mungkin terletak pada keseimbangan antara peran militer, lembaga sipil, dan sektor swasta dalam menghadapi ancaman siber yang terus berkembang.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)