Pasukan Israel yang melintasi dataran tinggi Golan pada 9 Desember 2024. Foto: EFE-EPA
New York: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin, 9 Desember 2024 menuduh Israel telah melanggar Kesepakatan Disengagement 1974 dengan Suriah setelah negara itu mengambil langkah “terbatas dan sementara” di zona demiliterisasi di perbatasan Golan Heights untuk mengatasi potensi ancaman.
Tindakan ini menuai kritik internasional di tengah ketegangan yang meningkat pasca runtuhnya rezim Bashar al-Assad.
Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, dalam surat kepada Dewan Keamanan PBB, menyatakan bahwa langkah tersebut semata-mata untuk melindungi warga Israel di wilayah Golan Heights.
“Israel tidak terlibat dalam konflik internal di Suriah. Tindakan ini hanya bertujuan untuk menjaga keamanan kami,” tulis Danon, mengutip dari The Times of Israel, Selasa 10 Desember 2024.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, sebelumnya memerintahkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk mengambil alih zona penyangga setelah runtuhnya rezim Bashar al-Assad yang telah berkuasa selama lima dekade. Langkah ini dilakukan untuk mencegah potensi kekacauan akibat serangan mendadak kelompok pemberontak Suriah.
Zona Demiliterisasi yang diperdebatkan
Zona demiliterisasi seluas 235 kilometer persegi yang dibentuk berdasarkan perjanjian 1974 ini telah diawasi oleh pasukan perdamaian PBB selama beberapa dekade.
Namun, Israel menyatakan bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak berlaku sejak runtuhnya pemerintahan Assad, dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebutnya sebagai “kesepakatan yang telah runtuh.”
Juru Bicara PBB, Stephane Dujarric, menegaskan bahwa keberadaan pasukan Israel di zona tersebut melanggar perjanjian disengagement.
“Tidak seharusnya ada kekuatan militer atau aktivitas di area pemisah. Israel dan Suriah harus mematuhi perjanjian 1974 untuk menjaga stabilitas,” ujarnya.
Reaksi internasional
Arab Saudi dengan keras mengutuk tindakan Israel, menyebutnya sebagai bukti bahwa Israel berupaya “menghancurkan peluang Suriah untuk memulihkan stabilitas dan keamanannya.”
Sementara itu, Amerika Serikat mendukung langkah Israel dengan alasan menciptakan stabilitas sementara. Namun, Washington menekankan bahwa tindakan ini harus bersifat sementara dan diawasi ketat untuk memastikan tidak menjadi permanen.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, menjelaskan bahwa langkah ini mencegah kekosongan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok teroris.
Kampanye militer Israel di Suriah
Selain menempatkan pasukan, Israel melancarkan serangan udara yang ditujukan pada persenjataan yang berpotensi jatuh ke tangan musuh. Laporan intelijen Barat mengungkapkan bahwa lebih dari 300 serangan telah dilakukan, yang berpotensi melemahkan kekuatan udara Suriah dalam beberapa hari.
Kondisi Suriah PascaAssad
Runtuhnya rezim Assad pada Minggu 8 Desember 2024 menandai berakhirnya perang saudara Suriah yang telah berlangsung sejak 2011. Kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS), mantan afiliasi al-Qaeda di Suriah, kini menjadi kekuatan dominan di wilayah tersebut.
Meskipun pemimpin HTS, Abu Mohammed al-Golani, berusaha meyakinkan komunitas internasional dan kelompok minoritas bahwa pemerintahannya tidak akan bersifat represif, banyak warga Suriah yang masih khawatir akan penerapan aturan Islam yang ketat di bawah HTS.
Kondisi ini menambah kompleksitas
situasi di Suriah, dengan berbagai pihak internasional terus memantau perkembangan yang cepat di kawasan tersebut.
(Muhammad Reyhansyah)