Ilustrasi. Foto: dok MI/Palce Amalo.
Media Indonesia • 28 February 2024 11:22
Jakarta: Jaringan regional organisasi non-pemerintah di Asia, The Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development (ANGOC) melaporkan sepanjang 2023, konflik agraria di Indonesia telah menyebabkan 241 konflik, yang merampas seluas 638.188 hektare (ha) tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman dari 135.608 kartu keluarga (KK).
Sebanyak 110 konflik juga tercatat telah mengorbankan 608 pejuang hak atas tanah, sebagai akibat pendekatan represif di wilayah konflik agraria. Angka ini berada pada urutan teratas dari enam negara Asia lainnya, yakni India, Kamboja, Filipina, Bangladesh, dan Nepal.
"Angka konflik agraria di Indonesia mencapai 74 persen dari total insiden, 94 persen dari total korban individu, dan 84 persen dari total rumah tangga yang terdampak, jika dibandingkan antara keenam negara tersebut," kata peneliti ANGOC Marianne Jane Naungayan dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu, 28 Februari 2024.
Ia menyampaikan banyak konflik agraria yang tidak terdokumentasi atau dilaporkan sehingga datanya lebih bersifat indikatif. Angka ini, katanya, belum mencakup penderitaan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak sebagai dampak lanjutan dari pelanggaran yang terjadi, seperti penggusuran, pengrusakan terhadap rumah, pertanian, wilayah adat, dan konflik lainnya.
Menurut data yang dicatat ANGOC sepanjang 2023, total terdapat 690 kasus konflik agraria di keenam negara. Konflik tersebut mencakup 1,87 juta ha tanah yang masih berjalan dan mencakup hampir setengah juta rumah tangga, yang meliputi sekitar 2,2 juta orang.
Dari sisi luas konflik, yang terbesar terjadi di Filipina dengan lebih dari satu juta ha tanah berada dalam konflik, kebanyakan meliputi tanah masyarakat adat. Sedangkan, dari sisi rumah tangga, yang paling banyak terdampak adalah India dengan 162 ribu keluarga dan Indonesia dengan 135 ribu keluarga.
Konflik berlangsung lebih dari 20 tahun
Secara mayoritas, Marianne menuturkan letusan konflik agraria yang terjadi merupakan konflik yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun, terutama di Indonesia dan India. Padahal lebih dari seperempatnya memiliki status tidak diketahui. Di sisi lain, ada 17 persen dari semua kasus yang usianya kurang dari dua tahun, yang artinya terjadi peningkatan rata-rata jumlah kasus baru-baru ini.
Lebih dari separuh atau 58 persen konflik mencakup tanah masyarakat adat, terutama di Bangladesh, India dan Filipina. Juga, kasus-kasus yang melibatkan
petani gurem atau mereka yang menguasai tanah di bawah 0,5 ha dengan presentase 14 persen dan pemilik lahan hutan kecil dengan 12 persen.
"Korban terdampak dalam konflik adalah kelompok petani, masyarakat adat dan masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan," jelas Marianne.
Dari 654 pejuang hak atas tanah yang sekaligus menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM), ANGOC mencatat 515 individu di antaranya ditangkap atau dikriminalisasi, kebanyakan berada di Indonesia.
"Juga ada 92 orang yang dianiaya terutama di Indonesia dan Nepal, lalu 15 orang yang mengalami serangan fisik, diantaranya tertembak. Mereka kebanyakan di Bangladesh dan Indonesia. Serta, 12 orang tewas kebanyakan di Filipina dan Indonesia," terang Marianne.
Baca juga: Mahfud: Tumpang Tindih Hukum Hambat Reforma Agraria
Pelanggaran dilakukan aparat bersenjata
Dari sisi pelaku penggusuran yang menambah catatan pelanggaran HAM, tertinggi dilakukan oleh aparat negara yang bersenjata dengan persentase 73 persen dari total kasus, dan aparat keamanan dari korporasi dengan jumlah 11 persen. Sisanya dilakukan oleh penyerang tak dikenal, baik itu dari pemerintah daerah dan lainnya.
Dari sisi pemangku kepentingan yang paling banyak menjadi penyebab letusan konflik agraria adalah korporasi dengan persentase 36 persen, pemerintah dengan 29 persen dan individu atau penguasa yang kuat dengan 15 persen.
Program pemerintah yang menjadi penyebab letusan konflik agraria tertinggi kedua, diantaranya infrastruktur umum, termasuk jalan, jembatan, bandara atau pelabuhan.
"Dari total 178 letusan konflik akibat program pemerintah, 90 persen disumbang oleh Indonesia, termasuk letusan konflik dari pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, yang juga menyumbang luasan terbanyak," sebut Marianne.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyampaikan, berdasarkan data Catatan Akhir Tahun KPA 2023 yang menilik konflik agraria di era Jokowi lebih tinggi dua kali lipat dengan 2.939 kasus dibanding era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan 1.354 kasus.
"Kita bisa lihat bahwa masyarakat sipil di berbagai negara menghadapi situasi yang sama, walau berbeda konteks. Pelaku utama dari konflik ini adalah pemerintah pusat dan aparat hukum seperti polisi, militer," kata dia.
(INSI NANTIKA JELITA)