Diplomasi Senyap ASEAN Dinilai Efektif Redam Ketegangan Thailand–Kamboja

Prinsip non-intervensi ASEAN kembali disorot dalam CIFP 2025 setelah keberhasilan meredam konflik Thailand–Kamboja. (Metrotvnews.com)

Diplomasi Senyap ASEAN Dinilai Efektif Redam Ketegangan Thailand–Kamboja

Willy Haryono • 29 November 2025 20:38

Jakarta: Prinsip dasar non-intervensi ASEAN kembali menjadi sorotan dalam Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2025, menyusul keberhasilan peredaman ketegangan antara Kamboja dan Thailand. Keberhasilan tersebut dinilai menegaskan bahwa itikad baik dan diplomasi senyap para pemimpin menjadi kekuatan utama di balik efektivitas ASEAN.

Profesor Studi ASEAN International Islamic University of Malaysia, Dr. Pa Kim Beng, menjelaskan bahwa prinsip non-intervensi seharusnya tidak dipahami sebagai sesuatu yang tabu. Prinsip ini, kata dia, berdiri di atas dua pilar utama. Salah satunya membuka ruang bagi negara anggota untuk terlibat dalam isu domestik negara lain, selama tidak mendukung gerakan oposisi atau destabilitas politik.

Pilar tersebut, menurut Pa Kim Beng, justru memberikan ruang bagi intervensi konstruktif berbasis itikad baik antarnegara anggota. Ia mencontohkan peran Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dalam membantu meredakan ketegangan perbatasan antara Thailand dan Kamboja melalui jalur komunikasi informal.

Upaya mediasi Anwar bahkan sempat melibatkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Saat itu, Trump disebut menawarkan penggunaan embargo perdagangan terhadap Thailand guna memaksa gencatan senjata. Namun, Anwar meminta Trump untuk menahan langkah tersebut dan memberi kesempatan kepada ASEAN menyelesaikan persoalan secara internal.

“Perdana Menteri Anwar menjelaskan kepada Trump agar jangan dilakukan embargo. Percayakan kepada beliau untuk berbicara langsung dengan Thailand dan Kamboja agar kedua pihak kembali kepada gencatan senjata karena sudah ada kemajuan,” ujar Pa Kim Beng dalam CIFP 2025 di Jakarta, Sabtu, 29 November 2025.

Upaya tersebut membuahkan hasil, ditandai dengan penarikan artileri berat dari wilayah perbatasan kedua negara. Menurut Pa Kim Beng, meski Perdana Menteri Thailand mengapresiasi langkah tersebut, pengakuan terbuka tidak dilakukan karena kuatnya tekanan nasionalisme di dalam negeri.

Sementara itu, Peneliti Senior ISEAS–Institut Yusof Ishak, Hong Thi Ha, menegaskan bahwa menjaga hubungan personal antar pemimpin kawasan jauh lebih efektif dibandingkan mengandalkan mekanisme formal yang jarang digunakan.

Ia juga mengingatkan agar isu kebijakan luar negeri tidak dijadikan alat mencari keuntungan politik domestik ataupun kepuasan instan di media sosial. Menurutnya, krisis semacam ini justru menguji koherensi ASEAN dan menuntut para pemimpin membangun rasa saling percaya, kenyamanan, serta hubungan personal yang kuat.

“Koherensi ASEAN sangat ditentukan oleh bagaimana para pemimpinnya mampu mengelola hubungan satu sama lain di balik layar,” kata Hong Thi Ha. (Kelvin Yurcel)

Baca juga:  PM Malaysia: Gencatan Senjata Thailand-Kamboja Tunjukkan Kekuatan ASEAN

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Willy Haryono)