Presiden AS Donald Trump. (Anadolu Agency)
Marcheilla Ariesta • 26 January 2025 16:26
Washington: Calon pegawai negeri di pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump menghadapi serangkaian 'ujian loyalitas' yang ketat. Tim Gedung Putih menyebar ke berbagai lembaga pemerintah untuk memeriksa 'bonafiditas' dari gerakan “Membuat Amerika Hebat Lagi” atau MAGA (Make America Great Again).
Mereka yang melamar pekerjaan diminta membuktikan 'antusiasme' mereka untuk memberlakukan kebijakan Donald Trump. Jika ada unggahan media sosial yang 'negatif' terhadap Trump, maka dapat menyebabkan penolakan lamaran.
Para kandidat juga ditanya kapan mereka mengalami momen 'MAGA'.
Misalnya, aplikasi dari situs web transisi Trump menanyakan kandidat, "Bagian mana dari pesan kampanye Presiden Trump yang paling menarik bagi Anda dan mengapa?"
Aplikasi tersebut juga meminta kandidat untuk menjelaskan bagaimana mereka 'mendukung' pemimpin Republik tersebut dalam pemilihan 2024, dengan pilihan menjadi sukarelawan, penggalangan dana, mengetuk pintu, dan menelepon.
'Pemeriksaan' staf potensial Trump dimulai tak lama setelah ia meluncurkan kampanyenya, dan terus berlanjut setelah kemenangannya.
Beberapa pejabat menggambarkan para rekrutan itu sebagai ‘komisaris MAGA’, yang merujuk pada Partai Komunis bekas Uni Soviet.
“Mereka umumnya muda dan banyak yang tampaknya tidak memiliki keahlian atau latar belakang khusus dalam portofolio lembaga tempat mereka bekerja,” menurut tiga pejabat, yang berbicara dengan syarat anonim kepada AP, dikutip oleh Hindustan Times, Minggu, 26 Januari 2025.
“Para penyeleksi tampaknya mencari perbedaan sekecil apa pun antara kandidat dan gerakan MAGA serta kebijakan ‘America First’. Postingan negatif di media sosial atau foto dengan lawan Trump sudah cukup untuk membuat beberapa aplikasi ditolak atau ditunda untuk ditinjau lebih lanjut,” tambah mereka.
Suasana di Departemen Luar Negeri, yang menjadi target khusus Trump sejak masa jabatan pertamanya, dilaporkan ‘tegang’ dan ‘suram’. Para pejabat sipil dan pegawai negeri sipil yang berkarir berhati-hati dalam menyuarakan pendapat tentang kebijakan atau masalah personalia, karena takut akan ‘balasan’ dari para bos politik yang baru.