Ilustrasi narkoba. Medcom.id
Achmad Zulfikar Fazli • 4 November 2025 18:09
Jakarta: Badan Narkotika Nasional (BNN) mengungkapkan sekitar 50 orang di Indonesia meninggal setiap hari akibat narkoba atau mencapai 18 ribu orang per tahun. Korban didominasi kelompok muda, rentang usia 14 hingga 25 tahun.
Deputi Pencegahan BNN Inspektur Jenderal (Irjen) Muhammad Zainul Muttaqin menyebutkan terdapat 1.386 jenis narkoba baru di dunia. Sebanyak 99 jenis narkoba baru telah teridentifikasi beredar di Tanah Air.
"Dari jumlah tersebut, 94 jenis sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan," ungkap Zainul dalam Diskusi Terbuka Tentang Bahaya Narkoba di Jakarta, dilansir dari Antara, Selasa, 4 November 2025.
Dia menambahkan cairan vape kini teridentifikasi mengandung narkotika jenis etomidate, senyawa anestesi yang dikategorikan sebagai narkotika golongan 1 di Taiwan.
Di sisi lain, sebanyak 52,97 persen penghuni lembaga pemasyarakatan tercatat merupakan narapidana kasus narkotika. Zainul menjelaskan terdapat ciri-ciri umum orang yang terpapar narkoba dengan istilah “7 ong plus”, yakni bohong, nyolong, nodong, songong, ompong, bengong, dan rempong.
Untuk memperkuat upaya pencegahan, BNN meluncurkan program Integrasi Kurikulum Anti Narkoba (IKAN) agar pendidikan antinarkoba masuk ke dalam sistem pembelajaran sejak dini.
Tak hanya di Indonesia, dia menuturkan ancaman narkotika telah menjadi persoalan serius di dunia. Dengan angka kematian akibat penyalahgunaan narkoba secara global mencapai 585 ribu orang per tahun atau rata-rata 52 orang meninggal setiap jam.
“Angka kematian akibat narkoba di dunia bahkan lebih besar daripada akibat konflik bersenjata dan terorisme,” kata Zainul.
Sementara itu, pengamat hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Suparji Ahmad, menilai penanggulangan narkoba di Indonesia belum bisa disebut berhasil.
“Ini sebuah ironi. Kita perlu mengidentifikasi penyebabnya, termasuk adanya kesalahan normatif dalam penerapan sanksi hukum,” ucap Suparji.
Menurut dia, pengguna dan pecandu seharusnya direhabilitasi, sedangkan pengedar dan bandar harus dipenjara serta diputus mata rantainya.
Dia mendorong perubahan paradigma hukum agar tidak terjadi diskriminasi dalam rehabilitasi dan memperkuat pengawasan sekaligus memperketat hukuman terhadap para bandar.
Narkoba Mengancam Generasi Emas
Ilustrasi narkotika. Medcom.id
Penasihat Ahli Kapolri Andi Subiakto menambahkan jika peredaran narkoba tidak tertangani serius, cita-cita menuju Generasi Emas 2045 akan gagal. Sehingga, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi.
Dia menyoroti adanya rumah tahanan narkoba yang justru menjadi pusat produksi dan peredaran narkoba di Tanah Air.
Andi berpendapat Indonesia kini menjadi sasaran utama segitiga emas peredaran narkoba dunia. Sehingga, diharapkan BNN lebih agresif dalam bertindak, melakukan tes narkoba bagi mahasiswa baru dan aparatur sipil negara (ASN), serta memperluas kerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang memiliki jaringan luas.
Dia turut menyoroti meningkatnya praktik jual beli narkotika secara daring serta keterkaitannya dengan judi daring dan prostitusi daring yang memperburuk kondisi sosial.
“Bahaya narkotika ini bukan lagi sekadar isu kriminal, melainkan sudah menjadi ancaman geopolitik dan geodemografi,” ujar Andi.
Dengan begitu, dia menilai pendekatan lunak (soft approach) sudah tidak relevan. Sekarang saatnya menerapkan hard approach, yaitu tindakan yang lebih keras dan tegas.
Berdasarkan Indonesia Drug Report 2025, jumlah narapidana dan tahanan kasus narkoba mencapai 141.016 orang. Dari jumlah itu, 76.712 merupakan bandar, pengedar, penadah, dan produsen, sementara sebanyak 64.304 lainnya merupakan pengguna.
Provinsi Sumatra Utara tercatat memiliki jumlah tahanan kasus narkoba tertinggi pada 2024 dengan 19.378 orang, termasuk 10.952 bandar dan pengedar. Jawa Timur menyusul di posisi kedua dengan 13.917 tersangka, disusul Jawa Barat (10.989), Riau (8.767), dan DKI Jakarta (8.533).
Kalimantan Timur menempati posisi keenam dengan 7.979 tersangka, diikuti Sumatra Selatan (7.593), Sulawesi Selatan (6.823), Kalimantan Selatan (6.766), dan Jawa Tengah (6.106).