Sekolah Rakyat ala Prabowo: Menghidupkan Kembali Cita-Cita Pendidikan Rakyat

Kennorton Hutasoit, Jurnalis senior Metro TV. Foto: Dok/Istimewa

Sekolah Rakyat ala Prabowo: Menghidupkan Kembali Cita-Cita Pendidikan Rakyat

12 September 2025 08:21

Oleh: Dr. Kennorton Hutasoit, 

Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Sekolah Rakyat (SR) Margaguna, Jakarta (11/9), menjadi lebih dari sekadar agenda kenegaraan. Ia masuk ke kamar asrama, menulis catatan di meja belajar siswa, dan berdialog dengan anak-anak dari keluarga ekstrem miskin. Sebagian siswa sebelumnya putus sekolah. Di hadapan mereka, Prabowo menegaskan komitmen pemerintah untuk menambah 100 Sekolah Rakyat setiap tahun, dengan target 500 sekolah di seluruh pelosok tanah air.
 
Prabowo juga menjanjikan fasilitas berbasis teknologi berupa Smart Digital Screen di setiap sekolah, menegaskan bahwa pemerataan pendidikan tidak hanya menyentuh akses, tetapi juga kualitas pembelajaran di era digital. Ini adalah pesan komunikasi politik yang kuat negara hadir dan memeluk mereka yang selama ini berada di pinggiran.
 
Istilah Sekolah Rakyat bukan baru. Pada era Presiden Soekarno, SR adalah sebutan resmi untuk sekolah dasar (pengganti Volkschool) yang menjadi simbol pendidikan rakyat pasca kemerdekaan. Baru pada 1968, awal Orde Baru, nama SR dihapus dan diganti menjadi Sekolah Dasar (SD).
 
Dengan memilih menghidupkan kembali istilah ini, Prabowo secara sadar meminjam memori kolektif tentang semangat nasionalisme awal, pendidikan sebagai jalan membebaskan rakyat dari kebodohan dan kemiskinan. Dalam teori komunikasi politik, ini adalah bentuk symbolic legitimization yang menggunakan simbol dan istilah historis untuk menegaskan kesinambungan dengan cita-cita pendiri bangsa.
 
Menariknya, SR versi Prabowo tampil berbeda yakni berasrama, berdisiplin tinggi, bahkan berseragam semi-militer. Dalam perspektif symbolic interactionism, ini adalah pesan non-verbal bahwa bangsa yang ingin dibangun adalah bangsa yang disiplin, nasionalis, dan siap bersaing. Kehadiran presiden di asrama menjadi performative politics yang memperkuat kepercayaan publik (political trust).
 

Baca juga: Editorial Media Indonesia: Utak-atik Anggaran Pendidikan
 
Dari perspektif hukum, Pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Sekolah Rakyat adalah salah satu cara negara memenuhi hak konstitusional itu, terutama bagi anak-anak yang selama ini terpinggirkan.
 
Namun, hak itu juga harus dipenuhi dengan prinsip kesetaraan (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945), tidak boleh ada diskriminasi dalam seleksi siswa. Mekanisme penerimaan, kurikulum, dan fasilitas harus transparan agar semua anak dari keluarga kurang mampu memiliki kesempatan yang sama.
 
Pemerintah juga harus menjamin standar kualitas pendidikan di SR agar setara dengan sekolah umum. Di sinilah pentingnya good governance: pendanaan berkelanjutan, akreditasi kurikulum, serta pelatihan guru agar anak-anak tidak hanya mendapat akses, tetapi juga mutu pendidikan yang memadai.
 
Dalam teori komunikasi pembangunan (Everett Rogers), pendidikan adalah motor perubahan sosial. SR adalah agenda setting politik yang memengaruhi opini publik: menampilkan Prabowo sebagai presiden yang peduli rakyat kecil, sekaligus menciptakan narasi optimisme bahwa masa depan bisa diubah melalui pendidikan.
 
Gaya orasi Prabowo yang tegas, kadang berapi-api, sering dibandingkan dengan Bung Karno. Dalam retorika politik, ini adalah strategi mobilizing narrative — membakar semangat, menciptakan identitas kolektif, dan mengajak publik ikut serta. Dengan meminjam istilah SR dan menghadirkan dirinya secara fisik di sekolah, Prabowo membangun narasi bahwa pemerintahannya adalah kelanjutan dari perjuangan kemerdekaan.
 

Tantangan dan Harapan

 
Kebijakan Sekolah Rakyat juga membawa sejumlah tantangan:
  1. Pendanaan Jangka Panjang – Perlu kepastian APBN agar pembangunan 500 SR tidak berhenti di tengah jalan.
  2. Kualitas Kurikulum & Guru – Disiplin ala militer bagus untuk karakter, tetapi jangan mengorbankan kreativitas dan kebebasan berpikir anak.
  3. Pengawasan Publik – Perlu komite pengawas independen yang melibatkan KPAI, akademisi, dan masyarakat sipil untuk memastikan SR benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar proyek simbolik.
 
Baca juga: Editorial Media Indonesia: Keadilan Pendidikan tanpa Diskriminasi

Selain itu, perlu sistem seleksi yang ketat dan transparan agar siswa yang diterima benar-benar berasal dari keluarga miskin ekstrem. Berdasarkan data BPS Maret 2025, penduduk miskin ekstrem masih mencapai 2,38 juta orang, sementara total penduduk miskin sebanyak 23,85 juta jiwa. Jika SR hanya dibangun 100 sekolah per tahun dan tiap sekolah melayani rata-rata 100–200 anak, maka dalam 5 tahun ke depan mungkin hanya 2–4% dari anak-anak miskin ekstrem yang terlayani. 
 
Harus dipastikan juga jangan sampai program ini mubazir karena penerima manfaat bukan yang paling membutuhkan, misalnya keluarga yang ekonominya cukup atau memiliki aset lebih dari satu rumah malah yang dapa.
 
Penggunaan data Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), verifikasi lapangan, dan audit berkala sangat penting agar sasaran tepat. Jika pemerintah serius memperluas jangkauan hingga desil 5 seperti disampaikan Presiden Prabowo, maka kapasitas per sekolah harus ditingkatkan atau perlu program pendidikan alternatif agar seluruh anak dari keluarga miskin dapat mengakses pendidikan berkualitas.
 
Langkah Presiden Prabowo menghidupkan kembali istilah Sekolah Rakyat adalah langkah komunikasi politik yang cerdas. Presiden Prabowo menghubungkan masa kini dengan cita-cita pendiri bangsa, mengirim pesan bahwa negara kembali hadir untuk rakyat kecil. Namun simbol tanpa substansi hanya akan menjadi retorika. Oleh karena itu, agar Sekolah Rakyat menjadi warisan nyata, pemerintah harus memastikan pendanaan, kualitas pendidikan, dan pemerataan akses berjalan simultan. Jika itu terwujud, maka SR versi Presiden Prabowo, bukan hanya nostalgia, melainkan tonggak baru pemerataan pendidikan di Indonesia sebagai sebuah jembatan dari pinggiran menuju pusat, dari kemiskinan menuju masa depan yang setara.
 

 
* Penulis Adalah Jurnalis Metro TV, Doktor Ilmu Komunikasi Unpad, Mahasiswa S1 FH UMT, Tutor/Pengajar UT/UBSI

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Misbahol Munir)