Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. (MI/Ebet)
Podium MI: Mesin Ekonomi yang Pincang
Abdul Kohar • 24 December 2025 06:20
DALAM berbagai kesempatan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yakin bahwa capaian pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029 sama sekali bukan hal mustahil. Syaratnya, negara tidak boleh 'mengambil' semua. Sektor swasta harus diberi ruang hidup. Bukan sekadar ruang, melainkan ruang yang lapang.
Menkeu lalu membandingkan pertumbuhan ekonomi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi, dengan titik tekan yang berbeda, hasilnya pun tak sama. Pada era SBY, sektor swasta diberi 'ruang amat lapang'. Tak banyak pembangunan fisik dan infrastruktur yang diinisiasi dan dibangun pemerintahan SBY. Namun, mengapa ekonomi bisa tumbuh tinggi? Atau setidaknya lebih tinggi ketimbang era Jokowi.
Jawabnya, ya, itu tadi, sektor swasta bergerak, beranak pinak, punya ruang amat leluasa. Apa buktinya? Kredit perbankan tumbuh rata-rata dua digit. Rentangnya 20% hingga 25%. Bahkan, pernah mencapai hampir 40% pada 2008. Pertumbuhan kredit mencerminkan ekspansi usaha. Karena itu, ekonomi bergerak. Kebijakan moneter yang mendorong pertumbuhan kredit dikonversi menjadi pertumbuhan ekonomi.
Namun, perekonomian agak pincang. Sektor moneter yang sangat agresif tidak dibarengi dengan lini fiskal yang digenjot. Akibatnya, tak terlalu terlihat bagaimana infrastruktur dibangun. Akibatnya, masih banyak wilayah yang tak terkoneksi dengan daerah lain demi mendapatkan kemudahan akses ekonomi.
Itulah yang dikoreksi Jokowi. Negara sangat agresif. Pembangunan infrastruktur digalakkan. Akses ekonomi ditembus. Interkoneksi dibangun dengan sangat masif. Hampir semuanya menggunakan tangan-tangan negara melalui BUMN karya. Akibatnya, fiskal kepayahan. Utang membengkak. Sudah begitu, pertumbuhan kredit 'ditekan' kebijakan sektor moneter yang sangat ketat. Alhasil, pertumbuhan kredit perbankan merosot hingga separuh jika dibandingkan dengan era SBY.
Bahkan, pada 2025 ini, pertumbuhan kredit mentok di angka 9%. Akibatnya, selama 10 tahun pemerintahannya, pertumbuhan ekonomi tertahan di angka 5%. Ekonomi pun tetap berjalan dengan kaki yang pincang, tak seimbang. Bahkan, saat kebijakan moneter masih ketat, uang tak banyak beredar, fiskal pun masih 'meriang'.
Baca Juga:
Purbaya: Kenaikan Belanja Bisa Tekan Dampak Bencana ke Ekonomi |
Perekonomian Indonesia memasuki 2026 pun masih tetap dengan satu pekerjaan rumah besar, yakni menyeimbangkan kembali mesin pertumbuhan. Selama dua dekade terakhir, arah laju ekonomi nasional bergerak tidak simetris. Pemerintah terlalu dominan, sementara sektor swasta tertinggal di belakang. Sebaliknya, pada dekade sebelumnya, negara kurang gereget. Akibatnya, mesin pertumbuhan berjalan, tetapi pincang.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara terbuka mengakui ketimpangan tersebut. Ia menyebut pertumbuhan ekonomi pada era Presiden Joko Widodo bersifat 'negara-sentris', ketika belanja dan proyek pemerintah menjadi motor utama. Sebaliknya, pada masa SBY, sektor swasta justru menjadi penggerak utama, ditopang stabilitas politik dan iklim investasi pascakrisis 1998.
Perbandingan itu tajam. Pada era SBY, ekonomi mampu tumbuh stabil di kisaran 6% seiring dengan kredit perbankan yang melesat agresif. Data menunjukkan, sepanjang 2010-2013, pertumbuhan kredit tahunan konsisten di atas 20%. Sektor swasta ekspansif, dunia usaha percaya diri, dan perbankan berani mengambil risiko. Sebaliknya, ketika negara mengambil alih peran dominan, pertumbuhan ekonomi justru melandai ke kisaran 5%.
Kondisi itulah yang membentuk konteks outlook ekonomi 2026. Setelah empat tahun mengalami perlambatan, industri perbankan mulai melihat sinyal pemulihan meski masih rapuh. Perhimpunan Perbankan Nasional (Perbanas) memperkirakan pertumbuhan kredit pada 2026 akan kembali terakselerasi ke kisaran 9%-11%. Angka itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan proyeksi akhir 2025 yang hanya satu digit, sekitar 7,7%-9,7%.
Optimisme tersebut tidak lahir tanpa alasan. Kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia mulai diarahkan kembali ke pertumbuhan (pro-growth). Penempatan dana pemerintah sebesar Rp276 triliun ke sistem perbankan, khususnya bank-bank milik negara, menjadi bantalan likuiditas yang signifikan. Rasio kredit terhadap simpanan (LDR) pun relatif longgar di level 82%, jauh di bawah ambang batas regulator.
Namun, masalah utama ekonomi 2026 bukan di sisi suplai dana, melainkan permintaan. Masih tingginya kredit yang belum ditarik (undisbursed loan) masih membayangi. Hingga Oktober 2025, nilainya mencapai Rp2.450,7 triliun, atau hampir 23% dari total plafon kredit. Artinya, dunia usaha sudah mendapat persetujuan pembiayaan, tetapi memilih menahan ekspansi.
Baca Juga:
Bombardir Stimulus Demi Gapai Mimpi '8%' |
Sikap wait and see pelaku usaha itu mencerminkan kehati-hatian yang belum sepenuhnya pulih. Dunia usaha masih menakar arah ekonomi global, stabilitas domestik, serta kepastian kebijakan di awal pemerintahan baru. Tanpa pemulihan kepercayaan sektor swasta, akselerasi kredit berpotensi hanya terjadi di atas kertas.
Di sinilah tantangan utama ekonomi 2026. Pemerintah tidak cukup hanya mendorong pertumbuhan lewat belanja dan stimulus fiskal. Yang lebih penting ialah mengembalikan peran sektor swasta sebagai mesin utama. Kredit harus benar-benar mengalir ke aktivitas produktif, bukan sekadar tercatat sebagai komitmen.
Jika akselerasi kredit 2026 benar-benar terwujud dan sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sekitar 5,15%, itu menjadi sinyal awal perbaikan keseimbangan mesin pertumbuhan. Negara tetap hadir sebagai fasilitator, bukan pemain tunggal. Sektor swasta kembali berani mengambil risiko dan memperluas usaha.
Ekonomi Indonesia 2026, pada akhirnya, bukan sekadar soal angka pertumbuhan. Ia merupakan ujian apakah mesin yang selama ini pincang bisa kembali berjalan selaras, dengan negara dan swasta menarik tuasnya bersama-sama.