Ilustrasi perusahaan tambang. Foto: MI/Angga Yuniar.
Eko Nordiansyah • 23 January 2025 21:10
Jakarta: Pemerintahan Prabowo-Gibran terus mendorong program hilirisasi nikel untuk mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen yang tercantum dalam Asta Cita. Keseriusan ini dibuktikan dengan pembentukan satuan tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional.
Kebijakan hilirisasi nikel diklaim meningkatkan pendapatan ekonomi nasional sebesar 21,2–21,6 persen serta menciptakan penyerapan tenaga kerja hingga 13,83 juta dalam 10 tahun terakhir. Namun studi Koaksi Indonesia menunjukkan kesenjangan yang signifikan.
Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia Ridwan Arif menyoroti tiga faktor yang menjadi alasan mengapa hilirisasi belum bisa dikatakan sebagai Green Jobs. Dalam hilirisasi, ia menyebut, masih banyak hal yang belum terpenuhi untuk dapat dikatakan Green Jobs.
“Ternyata, masih panjang konteks pekerjaan hijau dalam hilirisasi. Misalnya, lemahnya perlindungan pekerja, dampak sosial kepada masyarakat, dan praktiknya yang masih banyak menimbulkan kerusakan lingkungan,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 23 Januari 2025.
Untuk itu, industri pengolahan nikel harus memenuhi prinsip Environmental, Social and Governance (ESG) menuju transformasi ke arah dekarbonisasi industri dan praktik industri yang bertanggung jawab. Industri nikel yang bertanggung jawab akan memiliki implikasi jangka panjang.
Studi ini menyoroti pentingnya kolaborasi dan koordinasi multipihak baik pemerintah, industri tambang nikel dan pengolahannya, serta masyarakat sipil untuk memastikan kepentingan ekonomi, perlindungan sosial, dan lingkungan dapat berjalan bersama.
“Smelter nikel akan menunjang transisi energi. Namun di dalam proses produksinya kalau tidak melakukan dekarbonisasi ya percuma. Jadi, ada beberapa teknologi yang digunakan untuk meningkatkan recovery dan menekan pencemaran,” ujar Deputi Direktur Industri Hijau Kementerian Perindustrian Taufik Achmad.
Critical Minerals Transition Project Lead WRI Indonesia Reza Rahmaditio menyebut, keberadaan smelter nikel berpotensi pada terciptanya Green Jobs yang tidak hanya untuk smelter itu sendiri. Namun, menciptakan Green Jobs di berbagai industri manufaktur yang berkaitan dengan nikel.
“Green Jobs tidak hanya di smelter itu sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan EBT di smelter, diperlukan berbagai manufaktur yang menghasilkan EBT. Misalnya, manufaktur solar panel, wind turbine, dan manufaktur low carbon lainnya,” ungkapnya.
Baca juga:
Masuk BRICS, Indonesia Berpeluang Tawarkan Investasi Hilirisasi hingga Perikanan |