PP 28/2024 Dikhawatirkan Ancam Kedaulatan Ekonomi

Petani tembakau di Rembang. Foto: Metrotvnews/Arga Sumantri.

PP 28/2024 Dikhawatirkan Ancam Kedaulatan Ekonomi

Husen Miftahudin • 17 February 2025 16:23

Jakarta: Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan berpandangan polemik Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429-463, berpotensi mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia.

Menurut Henry, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar tidak memaksakan diimplementasikannya PP 28/2024 di saat situasi geopolitik dan geoekonomi global berdampak pada situasi di tanah air saat ini.

Ia juga mengingatkan PP 28/2024 dinilai cacat hukum. Pasalnya, proses penyusunannya tidak transparan dan minim pelibatan pelaku industri hasil tembakau (IHT).

"Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan dan berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi industri dan perekonomian nasional yang tidak sedang baik-baik saja," tukas Henry dikutip dari keterangan tertulis, Senin, 17 Februari 2025.

GAPPRI mensinyalir pemaksaan diimplementasikannya PP 28/2024 oleh Kemenkes lebih mewakili agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ketimbang melindungi kepentingan masyarakat yang terdampak. Padahal, banyak pihak yang langsung terkena dampak dari regulasi ini, sehingga seharusnya memiliki hak untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pembahasan.

Karena itu, GAPPRI mengingatkan agar Presiden Prabowo Subianto yang berkomitmen meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menyerap jutaan tenaga kerja jangan sampai terganggu oleh agenda FCTC yang menginfiltrasi melalui produk hukum, salah satunya PP 28/2024.

Kajian GAPPRI menyatakan, PP 28/2024 memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, yakni mencapai Rp182,2 triliun, dengan 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait terdampak.

"Larangan penjualan dalam radius 200 meter dari sekolah, potensi kerugian mencapai Rp84 triliun. Pembatasan iklan berdampak ekonomi yang hilang mencapai Rp41,8 triliun," papar dia.
 

Baca juga: Peredaran Rokok Polos Capai 95,44%, Negara Boncos Rp97,81 Triliun


(Ilustrasi, tembakau. Foto: Istimewa)
 

Potensi pajak hilang Rp160,6 triliun


Henry menegaskan, apabila ketiga aturan tersebut (kemasan polos, larangan penjualan, dan pembatasan iklan) diberlakukan, potensi pajak yang hilang diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun.

"Selain itu, kemasan rokok polos berpotensi mendorong downtrading (peralihan konsumen ke produk rokok yang lebih murah) dan peralihan ke rokok ilegal dua hingga tiga kali lebih cepat dari sebelumnya. Permintaan produk legal juga diprediksi turun sebesar 42,09 persen," terang dia.

GAPPRI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri, agar tercipta kebijakan yang tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga tidak mengorbankan kepentingan ekonomi dan sosial.

Pasalnya, IHT merupakan sektor strategis nasional yang mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor. Namun, sektor ini telah mengalami tekanan berat sejak diterbitkannya UU 17/2023 tentang Kesehatan, serta aturan turunannya.

"Berbagai tekanan regulasi terhadap IHT legal dirasa memberatkan bagi multi-sektor yang terkait. Maka itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan, mengingat kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang berbeda dari negara lain," tegas Henry.

GAPPRI mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan guna menciptakan regulasi yang adil dan berimbang.

"Hal ini diperlukan untuk memastikan keberlanjutan industri, melindungi jutaan pekerja, dan menjaga stabilitas perekonomian nasional sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo," ucap Henry.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)