Peredaran Rokok Polos Capai 95,44%, Negara Boncos Rp97,81 Triliun

Ilustrasi, rokok ilegal yang disita Bea Cukai. Foto: Medcom.id/Andi Aan Pranata.

Peredaran Rokok Polos Capai 95,44%, Negara Boncos Rp97,81 Triliun

Husen Miftahudin • 15 February 2025 17:50

Jakarta: Dugaan pelanggaran rokok ilegal sepanjang 2024 ditemukan rokok polos (tanpa pita cukai) menempati posisi teratas sebesar 95,44 persen, disusul palsu sebesar 1,95 persen, salah peruntukan (saltuk) 1,13 persen, bekas 0,51 persen, dan salah personalisasi (salson) 0,37 persen. Potensi kerugian negara diperkirakan Rp97,81 triliun.

Direktur Eksekutif Indodata Research Center Danis Saputra Wahidin mengatakan, temuan di lapangan tersebut relevan dengan hasil kajian Indodata yang melakukan kajian dan survei rokok ilegal di Indonesia pada 2024 lalu. Kendati demikian, Indodata akan melakukan survei dan kajian lebih komprehensif yang akan direkomendasikan pada riset-riset selanjutnya.

Danis mengatakan, hasil kajian dan survei rokok ilegal, didapatkan dari hasil terjadinya peningkatan persentase konsumsi rokok ilegal pada 2024 sebesar 46,95 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Data dari 2021 hingga 2024 menunjukkan angka konsumsi rokok ilegal mengalami tren kenaikan yang cukup signifikan.

"Hasil kajian memperlihatkan rokok ilegal peredarannya itu semakin meningkat dari 28 persen menjadi 30 persen dan kita menemukan angka di 46 persen di 2024. Maraknya rokok ilegal terutama rokok polos yang dominan ini diperkirakan kerugian negara boncos Rp97,81 triliun," kata Danis dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 Februari 2025.

Danis melihat tren para perokok yang mengalami shifting atau mengganti mengkonsumsi rokok legal ke ilegal. Para perokok tidak lagi merokok yang mahal. Tetapi, kemudian mereka berubah mengkonsumsi rokok-rokok yang murah karena ternyata peningkatan nilai atau harga cukai tidak efektif untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.

Menurut Danis, kenaikan jumlah rokok ilegal disebabkan oleh adanya shifting konsumsi rokok ilegal dari golongan I, golongann II, dan golongan III menuju rokok ilegal yang lebih murah. Jenis-jenis rokok ilegal mengikuti selera pasar berupa polos, palsu, saltuk, bekas, dan salson.

"Jumlah komsumsi jenis hasil tembakau diperkirakan tidak jauh berbeda dari hasil Susenas dan survei UGM Yogyakarta, dimana konsumsi sigaret kretek mesin (SKM) lebih banyak dikonsumsi baik oleh konsumen rokok legal maupun ilegal, diikuti dengan sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek tangan (SKT)," papar Danis.
 

Baca juga: Belasan Juta Batang Rokok Ilegal Dimusnahkan Bea Cukai


(Ilustrasi. Foto: Medcom.id)
 

Pengawasan dan penegakan hukum extra ordinary


Indodata berharap, Presiden Prabowo Subianto dapat memberikan arahan pada jajaran kementerian/lembaga terkait untuk merumuskan kebijakan rokok perlu didukung oleh kajian yang objektif, komprehensif, dan inklusif, dengan dukungan data yang sahih, lengkap, dan transparan, sebagai basis penting perumusan dan implementasi kebijakan yang tepat dan akurat, sehingga kinerja kebijakan dapat lebih efektif dan efisien.

"Perlu dibarengi pengawasan dan penegakan hukum extra ordinary yang lebih intensif atas peredaran rokok ilegal, sebagai salah satu upaya strategis dalam mendukung optimalisasi pendapatan negara dan melindungi pabrikan legal di tanah air," kata Danis.

Jamak diketahui, industri hasil tembakau (IHT) merupakan industri yang melibatkan banyak pemangku kepentingan (petani tembakau, petani cengkeh, buruh, dan masih banyak lagi). 

Oleh karena itu, melibatkan pemangku kepentingan yang luas (meaningful involvement) dalam merumuskan kebijakan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) menjadi sebuah keharusan agar dapat memperoleh perspektif seluas mungkin sebagai dasar pengambilan keputusan yang efektif.

"Kebijakan pengaturan IHT sangatlah perlu memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai aspek secara hati-hati, komprehensif, dan objektif untuk menghindari dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences) yang justru berpotensi mengurangi efektivitas implementasi dan bahkan menimbulkan kerugian di sektor yang lain," kata Danis.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)