Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin. Dok. Istimewa
Achmad Zulfikar Fazli • 18 May 2025 11:00
Jakarta: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025 yang mengatur soal penaikan pungutan ekspor (PE) produk sawit dan turunannya terhadap harga tandan buah segar (TBS), dari 7,5 persen menjadi 10 persen dikritik. Kebijakan ini mulai berlaku pada 17 Mei 2025.
Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabarudin mengatakan kebijakan ini hanya untuk kepentingan mendukung program biodiesel B40. Sebab, dengan kenaikan pungutan, otomatis anggaran PE yang di kelola BPDP meningkat selanjutnya disalurkan untuk subsidi biodiesel B40.
Dia menilai kenaikan pungutan PE ini mengabaikan suara petani. Padahal, petani sawit dinilai yang paling dirugikan oleh aturan tersebut.
"Kenaikan pungutan ini akan langsung menurunkan harga TBS petani, ini kan sama dengan bulan Januari lalu setelah kenaikan pungutan menjadi 10 persen harga TBS petani langsung jatuh,” ungkap Sabarudin, melalui keterangan tertulis, Minggu, 18 Mei 2025.
Sabarudin memprediksi kenaikan pungutan 10 persen bisa menurunkan harga TBS kelapa sawit berkisar Rp500 di tingkat petani. Di sisi lain, dia menilai kenaikan ini menandakan pemerintah lebih mengutamakan subsidi kepada konglomerat yang terlibat dalam biodiesel. Sebab, kenaikan pungutan ini diperuntukkan 90 persen subsidi program biodiesel.
"Kami menghitung sudah ada sekitar Rp150 triliun lebih uang PE ini digunakan untuk subsidi secara langsung untuk program biodiesel," ujar dia.
Baca Juga:
Perkuat Dekarbonisasi, Pemerintah Minta Gapki Dorong Perusahaan Sawit Tiru PTPN IV PalmCo |