Jangan Normalisasi Pernikahan Anak dengan Budaya

Menteri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Veronica Tan. Foto: Metrotvnews.com/Kautsar.

Jangan Normalisasi Pernikahan Anak dengan Budaya

M. Iqbal Al Machmudi • 25 May 2025 21:02

Jakarta: Wakil menteri PPPA, Veronica Tan, meminta semua pihak jangan normalisasi pernikahan anak meski dibalut budaya. Sebab, hal itu bisa menjadi pintu penderitaan bagi masa depan anak.

Hal itu diungkapkan Veronica merespons viralnya pernikahan anak di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada kasus tersebut anak perempuan berinisial SMY merupakan siswi SMP berusia 15 tahun, sementara mempelai laki-laki merupakan siswa SMK berusia 17 tahun.

"Kementerian PPPA meminta seluruh pihak untuk tidak menormalisasi praktik perkawinan anak, apa pun bentuk atau bungkus budayanya. Diperlukan keterlibatan semua pihak untuk menghentikan praktik ini demi perlindungan dan masa depan anak-anak Indonesia," kata Veronica dikutip dari Media Indonesia, Minggu, 25 Mei 2025.

Pernikahan keduanya sempat dicegah oleh aparat desa karena masih di bawah umur. Namun setelah 3 pekan dicegah, kedua remaja itu menikah dengan cara memariq atau tradisi kawin lari suku Sasak Lombok.

Veronica sangat prihatin dengan pernikahan anak. Hal itu harus menjadi perhatian semua pihak.
 

Baca juga: 

Lestari Moerdijat Dorong Konsistensi Penghapusan Perkawinan Anak


"Kami sangat prihatin atas masih berlangsungnya praktik perkawinan anak yang dibalut dalam budaya yakni merariq, khususnya di NTB yang termasuk daerah dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di Indonesia," ungkap dia.

Perkawinan anak terus terjadi karena adanya tekanan sosial dan budaya. Sebab, perkawinan dianggap sebagai solusi atas kemiskinan atau demi menjaga kehormatan keluarga.

"Namun, realitanya, perkawinan anak justru menjadi pintu awal penderitaan bagi anak-anak kita," ujar Veronica. 

Anak-anak belum memahami konsekuensi dan tanggung jawab besar dalam kehidupan berumah tangga. Hak anak atas pendidikan, tumbuh kembang, dan menikmati masa kanak-kanaknya dirampas oleh praktik ini.

Secara hukum, Undang-Undang Perkawinan telah menegaskan bahwa usia minimal perkawinan adalah 19 tahun, sebagaimana telah ditegaskan pula melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggi Tondi)