Kehancuran di Gaza akibat perang 15 bulan Israel-Hamas. (EPA)
Riza Aslam Khaeron • 29 January 2025 11:50
Jakarta: Rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, untuk merelokasi warga Palestina dari Gaza ke Yordania dan Mesir telah memicu berbagai gelombang reaksi. Usulan dari Presiden AS ke-47 tersebut mendapat penolakan dari rakyat Palestina. Namun sebaliknya, usulan ini mendapatkan dukungan dari beberapa pejabat tinggi Israel, terutama dari kelompok sayap kanan.
Usulan Trump dan Dukungan dari Sayap Kanan Israel
Dalam sebuah pernyataan pada Senin, 27 Januari 2025, Trump menyampaikan bahwa warga Gaza dapat dipindahkan ke wilayah-wilayah lain sebagai solusi jangka panjang atas konflik berkepanjangan di Palestina.
"Kita bisa membersihkan seluruh wilayah itu dan mengatakan: 'Sudah selesai'," ujar Trump, seperti dikutip dari CNN, Rabu, 29 Januari 2025.
Usulan tersebut segera mendapat tanggapan positif dari para politisi sayap kanan Israel. Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, menyebut rencana tersebut sebagai "satu-satunya solusi yang akan membawa perdamaian dan keamanan bagi Israel serta mengurangi penderitaan warga Gaza." Smotrich bahkan mengklaim bahwa dirinya tengah mengerjakan rencana untuk merealisasikan gagasan Trump.
Smotrich menyatakan bahwa langkah ini akan "menghapus ancaman teroris dari Gaza selamanya" dan mempercepat ekspansi pemukiman Israel di wilayah yang diklaimnya sebagai bagian dari tanah historis Yahudi.
Dia juga didukung oleh kelompok sayap kanan lainnya, termasuk pemimpin Jewish Power, Itamar Ben-Gvir, yang menyebut usulan ini sebagai "kesempatan sekali seumur hidup untuk menyelesaikan masalah Gaza".
Para pejabat Israel yang mendukung Trump percaya bahwa rencana ini tidak hanya akan mengamankan Israel tetapi juga mendorong "emigrasi sukarela" dari Gaza. Namun, kritik menyatakan bahwa konsep "sukarela" dalam skema ini hanyalah dalih untuk pembersihan etnis secara sistematis.
Reaksi Keras Rakyat Palestina
Sementara itu, di sisi lain, rakyat Palestina menolak tegas rencana ini. Sejumlah besar warga Gaza yang sebelumnya mengungsi akibat serangan Israel telah mulai kembali ke bagian utara wilayah tersebut.
"Kami kembali ke tempat di mana kami tumbuh, tanah yang menyimpan kenangan kami. Bahkan jika hancur, itu tetap milik kami," ujar Saqr Maqdad, seorang warga Gaza yang bersama keluarganya menempuh perjalanan panjang kembali ke Beit Hanoon.
Seorang petani Gaza, Abu Suleiman Zawaraa, yang ladangnya hancur akibat serangan Israel, menegaskan bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan tanahnya. "Saya telah membersihkan tujuh dunam puing-puing dengan tangan saya sendiri, karena ini adalah tanah saya, dan tidak ada yang bisa mengambilnya dari saya," ujarnya kepada Al Jazeera.
Gelombang kembalinya warga Palestina ke utara Gaza meskipun wilayah itu hancur lebur menunjukkan tekad mereka untuk tidak meninggalkan tanah kelahiran mereka.
"Kami tahu bahwa rumah-rumah kami telah rata dengan tanah, tetapi kami akan membangunnya kembali. Tidak ada tempat lain bagi kami," kata seorang warga Gaza lainnya, Israa Mansour, yang kini tinggal di tenda darurat bersama keluarganya.
Bagi banyak warga Palestina, rencana relokasi ini dianggap sebagai upaya terbaru dalam sejarah panjang upaya pemindahan paksa mereka. "Kami sudah kehilangan tanah kami pada 1948 dalam Nakba, kami tidak akan membiarkan sejarah terulang kembali," ujar seorang warga Gaza lainnya.
Penolakan dari Negara-Negara Arab
Rencana Trump ini juga menimbulkan ketegangan dengan negara-negara tetangga, terutama Yordania dan Mesir. Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman Safadi, menolak keras gagasan tersebut. "Yordania adalah untuk warga Yordania, dan Palestina adalah untuk warga Palestina," tegasnya.
Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi juga dilaporkan tidak memberikan komentar resmi terkait klaim Trump bahwa mereka telah berbicara soal relokasi ini. Seorang pejabat tinggi Mesir bahkan membantah bahwa percakapan semacam itu pernah terjadi.
Dampak Politik dan Kemanusiaan
Rencana Trump dinilai berpotensi semakin memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza. Menurut Al Jazeera, lebih dari 46.700 warga Palestina telah tewas akibat serangan Israel sejak perang dimulai pada Oktober 2023, sementara hampir 1,9 juta orang mengungsi. Infrastruktur utama seperti jalan, rumah sakit, dan sekolah juga mengalami kerusakan parah.
Para pengamat menilai bahwa gagasan relokasi ini tidak hanya tidak realistis tetapi juga bertentangan dengan hak asasi manusia. "Pemindahan paksa warga sipil dalam konteks tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan/atau kejahatan terhadap kemanusiaan," sebut PBB, seperti dikutip oleh CNN.
Lebih jauh, rencana ini dapat menggagalkan upaya normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi. Pangeran Mohammed bin Salman telah berulang kali menegaskan bahwa normalisasi hubungan dengan Israel harus terkait dengan solusi bagi negara Palestina. Upaya untuk "mengosongkan Gaza" bertentangan dengan visi ini dan dapat memperburuk ketegangan di kawasan.
Dengan perlawanan sengit dari rakyat Palestina dan penolakan dari negara-negara Arab, rencana relokasi yang diajukan Trump menghadapi kritikan besar. Sementara itu, bagi warga Gaza, bertahan di tanah kelahiran mereka tetap menjadi simbol perjuangan dan perlawanan terhadap okupasi.
Baca Juga:
Cari Peluang Pemerintahan Gabungan, Menlu AS Tegaskan ke Mesir untuk Tolak Pemerintahan Hamas