Pendidikan Anak-Anak Gaza Terhambat di Tengah Upaya Memulai Tahun Ajaran Baru

Anak-anak berada di area terdampak perang di Gaza. (Anadolu Agency)

Pendidikan Anak-Anak Gaza Terhambat di Tengah Upaya Memulai Tahun Ajaran Baru

Willy Haryono • 9 March 2025 17:40

Gaza: Upaya memulai kembali kegiatan belajar mengajar di Gaza menghadapi tantangan signifikan setelah lebih dari setahun terganggu setelah perang pada 7 Oktober 2023. Sekolah baru saja dibuka kembali ketika konflik meletus, yang memaksa kelas-kelas ditiadakan untuk waktu yang lama.

Selama lebih dari setahun, pendidikan formal di Gaza terhenti. Namun, inisiatif yang dipimpin pemuda dan masyarakat, bersama dengan dukungan dari UNRWA, berhasil mewujudkan sekolah darurat dengan menggunakan tenda dan struktur logam, terutama di daerah pengungsian seperti Mawasi Khan Younis di Gaza selatan.

Setelah gencatan senjata pada 19 Januari, pihak berwenang Gaza mulai mempersiapkan dimulainya kembali tahun ajaran baru, yang secara resmi dimulai pada 24 Februari. Namun, situasi masih penuh dengan kesulitan.

Mengutip dari Asharq al-Awsat, Minggu, 9 Maret 2025, salah satu kendala terbesar adalah keberadaan keluarga pengungsi yang berlindung di gedung sekolah, menolak untuk pergi karena kurangnya perumahan alternatif.

Guru bernama Ahmed Siyam dari lingkungan Al-Nasr di Kota Gaza mengatakan bahwa banyak keluarga tidak punya tempat lain untuk dituju, terutama setelah Israel memblokir masuknya rumah mobil dan sejumlah besar tenda, yang memperburuk krisis.

Meski tidak ada angka pasti mengenai jumlah orang yang mengungsi di sekolah-sekolah di Gaza, perkiraan menunjukkan bahwa lebih dari 1,2 juta warga Palestina masih kehilangan tempat tinggal setelah serangan udara Israel menghancurkan daerah permukiman di seluruh wilayah kantong itu.

Kementerian Pendidikan telah mendesak keluarga-keluarga yang mengungsi untuk mengosongkan ruang kelas untuk menampung siswa. Tetapi karena tidak ada alternatif yang layak, sebagian besar tetap tinggal.

Sebagai tanggapan, kementerian—bekerja sama dengan UNRWA dan lembaga-lembaga lain—telah mendirikan ruang kelas sementara di ruang terbuka. Meskipun inisiatif ini telah berhasil sebagian, banyak orang tua telah memilih pembelajaran daring, yang juga terhambat oleh kekurangan listrik dan internet yang parah.

Kekurangan Listrik dan Konektivitas

Sejak 7 Oktober, Gaza mengalami pemadaman listrik total akibat blokade Israel terhadap pasokan bahan bakar untuk satu-satunya pembangkit listrik di daerah kantong itu.

Penduduknya terpaksa mengandalkan energi surya, tetapi serangan Israel telah berulang kali menargetkan panel surya, sehingga membatasi ketersediaannya bagi mereka yang mampu membeli pasokan yang semakin langka.

Wael Al-Halais, seorang warga kamp pengungsi Al-Shati di Gaza barat, mengatakan rumahnya kekurangan listrik dan internet, sehingga hampir tidak mungkin bagi ketiga anaknya untuk melanjutkan sekolah. Ia juga mengkhawatirkan keselamatan mereka, karena sekolah darurat terdekat berjarak 800 meter, tanpa transportasi yang dapat diandalkan.

Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, Israel telah menargetkan 1.166 lembaga pendidikan selama 15 bulan terakhir, termasuk 927 sekolah, universitas, pusat pembelajaran, dan taman kanak-kanak—banyak di antaranya hancur total. Perang tersebut juga telah merenggut nyawa 12.800 siswa dan 800 guru serta staf administrasi.

Wakil Menteri Pendidikan Khaled Abu Nada menguraikan rencana untuk menyelamatkan tahun ajaran 2023–2024 sambil mempersiapkan tahun ajaran 2024–2025 dengan langkah-langkah luar biasa, termasuk sesi khusus untuk ujian sekolah menengah (Tawjihi).

Kementerian tersebut juga bertujuan untuk merehabilitasi sekolah-sekolah yang rusak, memperluas ruang belajar sementara, meningkatkan pendidikan digital, dan memperkenalkan program dukungan psikologis untuk membantu siswa mengatasi trauma perang.

Baca juga:  Anak-anak Gaza Mati Kedinginan di Tengah Blokade Israel

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Willy Haryono)