Kondisi pascabencana. Foto: Antara
Jakarta: Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia buka suara terkait Tambang Emas Martabe. Tambang emas itu dituding menjadi salah satu penyebab longsor dan banjir bandang di Sumatra Utara.
Bahlil menyatakan dirinya telah melakukan pengecekan langsung di Tambang Martabe. "Saya cek juga kemarin ini di lokasi, itu tambang emas. Kalinya itu ada tiga, ada kali gede, dan yang kena banjir ini kali yang sedang yang tengah. Nah Martabe ini kali yang kecil," ujar Bahlil, dikutip Jumat, 5 Desember 2025.
Menurut Bahlil, operasional tambang Martabe saat ini dihentikan sementara, bukan karena masalah lingkungan atau hukum. Ia meminta pengelola tambang turut membantu penanganan bencana dengan menurunkan alat berat.
"Sekarang kami minta mereka bantu, fokus untuk alat mereka untuk bantu teman kita yang kena bencana," tegas Bahlil.
Kementerian ESDM telag menerjunkan tim untuk mengevaluasi kembali izin usaha pertambangan (IUP) setelah adanya banjir bandang dan longsor di Sumatra.
"Saya pastikan kalau ada tambang atau IUP yang bekerja tidak sesuai dengan kaidah, aturan yang berlaku, kita akan sanksi tegas,” kata Bahlil.
Pengelola Tambang Buka Suara
PT Agincourt Resources (PTAR) menyatakan bencana banjir bandang dan longsor di Desa Garoga bukan berasal dari aktivitas Tambang Emas Martabe.
Dalam keterangannya, Kamis (4/12), Manajemen PTAR menjelaskan bahwa kesimpulan yang menghubungkan aktivitas tambang dengan banjir Garoga tidak berdasar. “Temuan kami menunjukkan bahwa mengaitkan langsung operasional Tambang Emas Martabe dengan kejadian banjir bandang di Desa Garoga merupakan kesimpulan yang premature."
Pihak PTAR mengeklaim ada serangkaian faktor alam yang memicu bencana tersebut. Salah satunya curah hujan ekstrem yang terjadi hampir merata di wilayah Sumatera bagian utara akibat Siklon Senyar.
Volume hujan itu juga mengguyur kawasan Hutan Batang Toru, daerah hulu bagi sungai-sungai utama seperti Aek Garoga, Aek Pahu, dan Sungai Batang Toru. Menurut PTAR, titik awal banjir terdapat di Desa Garoga yang berada di Sub DAS Garoga dan kemudian merambat ke Huta Godang, Batu Horing, serta Aek Ngadol Sitinjak.
Perusahaan menjelaskan bahwa banjir bandang dipicu ketidakmampuan aliran Sungai Garoga menahan debit air yang melonjak. Penyumbatan oleh material kayu gelondongan di Jembatan Garoga I dan II memperburuk kondisi. “Efek sumbatan ini mencapai titik kritis pada 25 November sekitar pukul 10 pagi, yang menyebabkan perubahan tiba-tiba pada alur sungai,” tulis PTAR.
Kondisi pascabencana. Foto: Antara
PTAR juga menegaskan bahwa lokasi operasional tambang berada di sub DAS berbeda, tepatnya di Aek Pahu. Wilayah ini, menurut perusahaan, terpisah secara hidrologis dari DAS Garoga. Meski arus kedua sungai bertemu di hilir, jaraknya jauh dari Desa Garoga sehingga aktivitas tambang disebut tidak berkaitan dengan bencana.
“Meskipun beberapa peristiwa longsoran terpantau di sub DAS Aek Pahu, tidak ada fenomena banjir bandang di sepanjang aliran sungai ini,” jelas manajemen.
Mereka menyebut tidak ada aliran lumpur maupun tumpukan kayu seperti yang terlihat di Garoga. Selain itu, 15 desa lingkar tambang yang berada di wilayah tersebut tidak mengalami dampak signifikan dan justru menjadi lokasi pengungsian.
PTAR juga melakukan pemantauan udara menggunakan helikopter di kawasan hulu Sungai Garoga. Hasilnya memperlihatkan titik-titik longsor di lereng-lereng yang diduga menghasilkan material lumpur dan kayu ke aliran sungai. Temuan itu, kata PTAR, merupakan indikasi awal yang masih memerlukan kajian lanjutan.
Di sisi lain, perusahaan menegaskan kepatuhan terhadap aturan lingkungan dalam setiap kegiatan operasional. Tambang Emas Martabe beroperasi di kawasan berstatus Areal Penggunaan Lain (APL).
“Kami memahami besarnya perhatian publik atas bencana ini,” kata manajemen. PTAR mengajak semua pihak mengedepankan kolaborasi dan manajemen informasi yang tepat guna menghindari narasi yang menyesatkan dan berpotensi mengganggu proses pertolongan. Perusahaan juga menyatakan mendukung penuh kajian independen yang komprehensif untuk memastikan mitigasi risiko bencana lebih baik di masa mendatang.