AGTI Bahas Penguatan Industri TPT dengan Menkeu Purbaya

Ketua Umum AGTI, Anne Patricia Sutanto (kiri) dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kanan). Foto: Dok istimewa

AGTI Bahas Penguatan Industri TPT dengan Menkeu Purbaya

Eko Nordiansyah • 4 December 2025 14:24

Jakarta: Ketua Umum Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto mengatakan, penyederhanaan regulasi dan penguatan industri tekstil nasional menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing, hingga menekan maraknya thrifting di dalam negeri. Hal tersebut disampaikan usai audiensi AGTI dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa serta jajaran Kementerian Keuangan, Selasa, 2 Desember 2025.

Anne menyatakan secara kapasitas, Indonesia memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan tekstil nasional sekaligus menembus pasar global. Namun sejumlah tantangan struktural dan standar internasional masih menjadi kendala.

Anne menyebut pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk mendukung kelancaran importasi bahan baku yang dibutuhkan industri, terutama bagi sektor yang belum mampu dipenuhi pasar domestik. Ia menilai koordinasi lintas kementerian perlu diperkuat agar pasokan tidak terhambat aturan yang tumpang tindih.

“Kalau regulasinya di-simplify, daya saing akan naik. Pemerintah punya kemauan untuk mendukung, tinggal penyelarasan kebijakannya,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis, 4 Desember 2025.
 



(Ilustrasi. Foto: Dok istimewa)

Impor bahan baku tetap diperlukan

Menurut Anne, impor tetap diperlukan, khususnya untuk jenis bahan baku tertentu yang belum tersedia di dalam negeri atau belum memenuhi standar mutu global. Keterbatasan product development di beberapa pabrik lokal membuat sejumlah merek internasional masih mengandalkan bahan impor agar memenuhi spesifikasi teknis dan keberlanjutan.

Product development kita masih kurang. Itu sebabnya beberapa brand internasional lebih memilih bahan impor,” ujar dia.

Anne menjelaskan, kemampuan industri lokal sesungguhnya ada, namun tidak merata. Tantangan terbesar ada pada pemenuhan Environmental, Social and Governance (ESG) yang mencakup standar lingkungan, sosial, hingga penggunaan energi ramah lingkungan. Banyak pabrik belum mampu memenuhi seluruh syarat tersebut.

“Kalau standar lingkungan, izin, upah minimum, sampai energi non-pool terpenuhi, produk lokal sebenarnya bisa diterima brand internasional,” papar dia.

Dalam praktiknya, bahan kain untuk memenuhi pesanan merek global masih banyak yang diimpor. Hal ini karena sebagian pabrik lokal belum mampu menciptakan kain dengan kualitas konsisten sesuai standar global, terutama untuk segmen performance fabric dan sustainable textile.

“Kita bisa kompetitif, tapi produksinya belum cukup banyak dan belum cukup cepat," tegas Anne.

Anne menyebut bahwa kebutuhan untuk busana muslim dan kerudung sebagian besar sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Namun untuk jenis kain tertentu, misalnya yang membutuhkan teknologi finishing khusus atau handfeel, impor tetap diperlukan karena tidak semua pabrik lokal memiliki fasilitas produksi yang sesuai.

“Secara kapasitas bisa, tapi spesifikasi tertentu masih harus impor,” jelas dia.

Menurut Anne, ketersediaan bahan baku dan penguatan industri lokal akan membantu menurunkan ketergantungan masyarakat pada produk pakaian bekas impor (thrifting). Namun penurunan thrifting tidak hanya bergantung pada produksi dalam negeri, tetapi juga pada penegakan regulasi dan perubahan perilaku pasar.

“Kalau daya saing naik, supply lokal kuat, otomatis thrifting akan berkurang. Tapi tetap butuh kepastian regulasi,” ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Eko Nordiansyah)