Para pemimpin ASEAN pada KTT ke-47 ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia. (myasean2025.my)
Willy Haryono • 29 November 2025 20:52
Jakarta: Ancaman terbesar bagi kohesi ASEAN dinilai masih berasal dari konflik internal yang berakar pada warisan sejarah dan sengketa bilateral antar negara anggota. Selain konflik perbatasan, klaim Filipina atas Sabah serta aliansi militer strategis sejumlah negara anggota disebut menjadi faktor penting yang menghambat kesatuan politik ASEAN.
Peneliti Senior sekaligus Koordinator Program Studi Strategis dan Politik Regional ISEAS–Institut Yusof Ishak, Hong Thi Ha, mengidentifikasi bahwa klaim Filipina atas Sabah, meski tidak selalu mencolok di ruang publik, tetap menjadi faktor signifikan di balik keretakan hubungan Manila dan Kuala Lumpur. Keretakan tersebut bahkan berdampak pada respons kedua negara terhadap isu sensitif di Laut China Selatan.
Di sisi lain, ASEAN juga dihadapkan pada tantangan dari pilar kedua prinsip non-intervensi, yakni keengganan negara anggota untuk mengkritik aliansi militer negara anggota lainnya.
Ha mencontohkan, meskipun Malaysia mungkin tidak sepenuhnya menyukai hubungan militer Kamboja dengan Tiongkok, mereka memilih untuk tidak menyampaikan kritik secara terbuka. Pola serupa juga terlihat ketika negara-negara ASEAN tidak mengkritik aliansi militer Filipina dengan Amerika Serikat.
Ha menegaskan bahwa ASEAN sejatinya memiliki banyak mekanisme penyelesaian sengketa yang telah diatur dalam Piagam ASEAN. Namun, ia mengkritik bahwa negara-negara anggota kini semakin kehilangan naluri untuk mengandalkan ASEAN sebagai rujukan utama ketika menghadapi persoalan bilateral.
“Masalahnya, negara-negara anggota ASEAN, entah bagaimana telah kehilangan naluri untuk mengutamakan ASEAN ketika mereka memiliki masalah bilateral,” kata Ha, dalam acara Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2025 di Jakarta, Sabtu, 29 November 2025.
Menurutnya, hilangnya naluri tersebut membuka ruang bagi keterlibatan pihak eksternal dalam konflik internal ASEAN. Kondisi itu, kata dia, bertentangan dengan tujuan awal pembentukan ASEAN yang dirancang untuk mengelola hubungan bilateral antar negara anggota, khususnya para pendiri.
Sebagai solusi, Ha menyarankan agar para pemimpin ASEAN kembali mempelajari dan mengedepankan seni diplomasi senyap. Ia menekankan bahwa menjaga hubungan personal yang baik antar pemimpin kawasan jauh lebih penting dibandingkan sekadar mengandalkan mekanisme formal yang jarang dimanfaatkan. (Kelvin Yurcel)
Baca juga: Diplomasi Senyap ASEAN Dinilai Efektif Redam Ketegangan Thailand–Kamboja