Presiden Rusia Vladimir Putin. Foto: TASS
Jakarta: Secara kasat mata dan di atas kertas, Presiden Rusia Vladimir Putin telah meraih sebagian besar tujuan strategisnya dalam “operasi militer khusus” ke Ukraina sejak Februari 2022. Sekitar 20 persen wilayah Ukraina kini telah dikuasai Rusia, termasuk Krimea dan sebagian Donbas.
Perang telah berlangsung selama lebih dari tiga tahun, dan militer Ukraina mengalami kelelahan serius, dengan lebih dari 31.000 personel militer dikonfirmasi tewas, dan sebagian besar senjata bantuan dari Barat hanya cukup untuk memperlambat -,bukan membalikkan,- arus perang.
Namun alih-alih mendorong gencatan senjata atau duduk di meja perundingan, Putin justru menggandakan intensitas serangan. Serangan udara terbesar sejak awal perang terjadi pada 25 Mei lalu, menghantam Kyiv dan kota-kota besar lainnya dengan gelombang rudal dan drone, menyebabkan puluhan korban jiwa.
Mengapa seorang pemimpin yang secara de facto sudah menang malah terus menyerang? Jawabannya mungkin terletak bukan hanya dalam kalkulasi militer, tetapi dalam logika psikologis dan simbolik Putin itu sendiri. Ia tidak hanya ingin merebut tanah—ia ingin menundukkan Ukraina secara total.
Putin mungkin ingin memberi pelajaran yang begitu pahit sehingga Ukraina, dan negara-negara tetangga lainnya di Eropa, tidak akan pernah lagi mencoba menantang Moskow atau mendekat ke orbit NATO.
Dalam pandangan ini, perdamaian bukanlah hadiah bagi lawan yang sudah lelah—melainkan bentuk kelemahan. Seperti yang disampaikan Kanselir Jerman Friedrich Merz baru-baru ini, “Putin tidak melihat perdamaian sebagai solusi, melainkan sebagai sinyal kelemahan dari Barat dan dari Ukraina sendiri.”
Pandangan ini sejalan dengan sikap Kremlin yang terus menolak upaya diplomatik terbaru, termasuk proposal gencatan senjata 30 hari yang diusulkan oleh AS dan didukung Ukraina. Bahkan ketika Vatikan menawarkan diri sebagai tuan rumah dialog damai lanjutan setelah upaya awal di Turki tahun lalu, Rusia tetap bersikap dingin dan malah menyebutnya sebagai lokasi yang “tidak elegan.”
Kekesalan Trump
Bagi Putin, jeda perang hanya akan memberi ruang bagi Ukraina untuk bernapas dan memulihkan diri. Ia lebih memilih menciptakan situasi tekanan konstan, dengan harapan melemahkan tekad rakyat Ukraina dan menggoyahkan solidaritas negara-negara pendukungnya.
Di sisi lain, perkembangan politik di Amerika Serikat menambah dimensi baru dalam dinamika ini. Presiden Donald Trump tampaknya sudah frustrasi dengan laju dialog damai, dan sempat menyebut Putin sebagai sosok “gila" karena terus menyerang Ukraina tanpa henti. Pernyataan ini cukup mengejutkan mengingat kedekatan personal mereka di masa lalu.
Kremlin segera menanggapi dengan menyebut komentar Trump tersebut sebagai sesuatu “yang terlalu emosional dan berlebihan." Tapi beberapa hari kemudian, Trump kembali dengan retorika khasnya, mengatakan, “Jika bukan karena saya, banyak hal buruk dapat menimpa Rusia.” Ucapan itu mencerminkan relasi kompleks Trump terhadap Putin: kombinasi ancaman, sindiran, dan pengakuan kekuatan.
Namun, pendekatan keras Trump terhadap Moskow juga tak lepas dari kalkulasi politik domestik. Di bawah tekanan internal dan eksternal, Trump tampaknya mencoba menyeimbangkan citra: bukan sebagai "boneka Putin" seperti yang dituduhkan banyak pihak selama kampanye pemilu 2016, tetapi sebagai pemimpin yang bisa membuat Rusia tunduk tanpa harus menyeret AS ke perang besar.
Senator Lindsey Graham, sekutu dekat Trump, bahkan menyatakan bahwa “taktik Rusia yang meningkatkan eskalasi demi mendapatkan konsesi damai sudah tidak efektif di era Trump.” Artinya, jika Putin berharap bahwa ancaman kekerasan akan membuat Washington melunak, ia mungkin justru akan menemui kebuntuan baru.
Rasa Frustrasi Eropa
Di Eropa, rasa frustrasi mulai terasa. Banyak negara mulai melihat bahwa strategi meredam Rusia dengan diplomasi tidak membawa hasil. Prancis dan Jerman meningkatkan tekanan, baik melalui sanksi maupun retorika. Bahkan ide mengirim pasukan non-tempur ke Ukraina -,sesuatu yang sebelumnya tabu,- kini mulai dibicarakan di Brussel dan Paris.
Sementara itu, negara-negara Baltik dan Polandia mendesak NATO untuk lebih aktif, karena mereka sadar bahwa jika Ukraina jatuh sepenuhnya, mereka bisa jadi target berikutnya.
Di tengah semua ini, Ukraina sendiri tampaknya semakin sadar bahwa mereka berperang bukan hanya untuk mempertahankan wilayah, tapi juga untuk eksistensi nasional mereka. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky -,yang sudah kehilangan banyak, baik secara politik maupun pribadi,- masih mencoba menjaga semangat perlawanan.
Tapi ia juga tahu, tanpa bantuan Barat yang konsisten dan tegas, Ukraina tidak akan mampu bertahan dalam perang jangka panjang melawan kekuatan militer Rusia yang jauh lebih besar.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah Putin ingin menang—karena dalam banyak aspek, ia sudah mencapainya. Pertanyaannya adalah: seberapa dalam ia ingin menghancurkan Ukraina agar menjadi contoh mengerikan bagi siapa pun yang berani melawan Rusia di masa depan?
Selama tujuan itu belum tercapai di benak Putin, maka perdamaian akan terus menjadi fatamorgana.