Dewan Redaksi Media Group, Gaudensius Suhardi. Foto: Media Indonesia/Ebet.
Media Indonesia • 24 November 2025 06:44
Kematian Irene Sokoy dan bayinya, warga Provinsi Papua, ialah tamparan keras bagi negara. Disebut tamparan karena negara gagal menjalankan kewajiban dasarnya, yaitu menyelamatkan nyawa warganya.
Setiap orang, menurut Pasal 28A UUD 1945, berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupan mereka. Pasal itu bukan dekorasi konstitusi, melainkan jaminan hak asasi paling mendasar yang wajib dijaga negara.
Namun, Irene Sokoy, ibu hamil yang kondisinya kritis, justru dibiarkan menunggu tanpa dokter di rumah sakit pertama. Saat dirujuk, tiga rumah sakit menolak. Salah satunya bahkan meminta uang muka jutaan rupiah ketika pasien sudah sekarat di dalam ambulans. Irene mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan menuju rumah sakit kelima. Semua berlangsung kurang dari 24 jam sejak 16 November 2025.
Itu bukan sekadar kelalaian
rumah sakit, melainkan juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Cicero pernah berkata, salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat ialah hukum tertinggi.
Hukum tertinggi itu bukan uang, bukan kelas BPJS, bukan ruang yang penuh, bukan uang muka, bukan pula administrasi. Hukum tertinggi itu ialah keberanian menyelamatkan nyawa manusia lebih dulu. Irene tewas karena pada malam itu, uang lebih berdaulat daripada kemanusiaan. Uang mahakuasa.
Irene dimakamkan pada 17 November 2025, hanya empat hari sebelum Papua merayakan 24 tahun otonomi khusus. Otsus diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 sebagai perubahan kedua UU 21/2001.
Negara melalui UU tersebut mengalokasikan dana setara 2,25% dari plafon dana alokasi umum nasional, dengan 1,25% di antaranya untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. Porsi kesehatan sebesar 20%.
Ilustrasi kesehatan. Foto: Dok. Metrotvnews.com.
Pada 2025, dana otsus Papua mencapai Rp899,3 miliar. Angka besar yang semestinya menjamin ketersediaan dokter, ruang perawatan, dan layanan darurat tanpa syarat. Namun, kenyataan jauh lebih getir. Papua mencatat angka kematian ibu sebesar 565 per 100 ribu kelahiran hidup, tertinggi di Indonesia dan jauh di atas rerata nasional.
Papua juga masih dibelit
kemiskinan ekstrem. Persentase penduduk miskin pada Maret 2025 mencapai 19,16%, naik dari tahun sebelumnya. Jumlahnya kini 171,38 ribu orang, bertambah 18,47 ribu jika dibandingkan dengan Maret 2024. Angka-angka itu memamerkan jurang antara besarnya dana otsus dan kecilnya layanan yang benar-benar dirasakan rakyat.
Di atas kertas, anggaran hadir. Dalam kenyataan, seorang ibu hamil harus berkeliling puluhan kilometer hanya untuk ditolak berkali-kali. Tragis. Lebih tragis lagi, salah satu rumah sakit menolak merawat Irene karena ia tak mampu membayar uang muka Rp4 juta.
Duka Irene menunjukkan betapa mahalnya akses hidup bagi mereka yang tak berpunya. Rumah sakit, tempat orang menggantungkan harapan hidup, ternyata tak ramah pada rakyat kecil. Padahal, prinsip pelayanan medis mewajibkan penyelamatan nyawa didahulukan sebelum hitungan biaya.
Penolakan pasien karena uang jelas melanggar amanat Pasal 174 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mewajibkan rumah sakit memberikan pelayanan bagi seseorang dalam kondisi gawat darurat dengan mendahulukan penyelamatan nyawa dan pencegahan disabilitas. Dalam kondisi darurat, rumah sakit juga dilarang menolak pasien, meminta uang muka, atau mendahulukan administrasi.
Undang-undang memang indah sebagai teks, tetapi miskin dalam penerapan. Perlakuan rumah sakit terhadap orang miskin paralel dengan perlakuan negara terhadap kaum papa.
Negara merasa bangga ketika angka kemiskinan turun sepersekian persen. Padahal, bagi mereka yang masih terperangkap dalam kemiskinan, perjuangan itu tetaplah duka yang absolut dan mematikan seperti yang dialami Irene Sokoy. Duka Irene Sokoy ialah ironi Papua dan negara ini.