Lembaga B'Tselem sebut Israel lakukan genosida. Foto: Libyan Express
Fajar Nugraha • 31 July 2025 20:02
Tel Aviv: Dua organisasi hak asasi manusia terkemuka di Israel memicu gelombang kontroversi setelah secara terbuka menuduh pemerintah mereka sendiri melakukan tindakan yang setara dengan genosida di Jalur Gaza. Tuduhan tersebut, yang dilontarkan oleh B’Tselem dan Physicians for Human Rights Israel (PHR-Israel), mengusik salah satu tabu terdalam dalam masyarakat Israel dan menuai kecaman tajam di dalam negeri.
Dalam konferensi pers di Yerusalem pada Senin lalu, kedua organisasi tersebut memaparkan laporan terpisah yang menyebut kampanye militer Israel di Gaza sebagai “penghancuran yang disengaja dan sistematis” terhadap masyarakat Palestina. Ini menjadi kecaman paling keras yang berasal dari dalam Israel sejak perang pecah pada Oktober tahun lalu.
Mengutip dari Libyan Express, Kamis, 31 Juli 2025, penggunaan istilah “genosida” oleh warga negara Israel sendiri dianggap sangat provokatif, mengingat negara ini didirikan oleh para penyintas Holocaust dan keturunannya. Pemerintah Israel selama ini secara tegas menolak tuduhan tersebut dan menganggapnya sebagai bentuk antisemitisme dan motivasi politik.
“Ini bukan istilah yang kami gunakan sembarangan,” ujar Sarit Michaeli, Direktur Advokasi Internasional B’Tselem.
“Kami menyadari bobot kata ini. Tapi setelah berbulan-bulan mendokumentasikan, kami percaya bahwa bukti yang kami kumpulkan membenarkannya,” ucap Michaeli.
Michaeli menyatakan organisasinya telah mempertimbangkan berbagai konsekuensi hukum, reputasi, dan politik sebelum menyampaikan temuan ini. “Kami pernah menghadapi tekanan dari pemerintah sebelumnya — tapi kali ini kami perkirakan reaksinya akan jauh lebih besar,” tambah Michaeli.
Meskipun pemerintah belum memberikan respons resmi, juru bicara David Mencer langsung membantah tuduhan tersebut. “Kami menghargai kebebasan berpendapat di Israel, namun pernyataan seperti ini hanya akan menyuburkan antisemitisme dan memutarbalikkan realitas,” ujar Michaeli.
Perang Israel di Gaza dimulai menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan lebih dari 250 lainnya disandera. Sejak itu, serangan militer Israel telah menewaskan lebih dari 60.000 warga Palestina, menurut otoritas kesehatan Gaza, dengan kerusakan masif dan kondisi kelaparan yang terus memburuk.
Laporan dari lembaga pemantau kelaparan global pekan ini menyebut kelaparan akut mengancam Gaza, terutama anak-anak di bawah usia lima tahun yang mengalami lonjakan angka kematian akibat malnutrisi.
Kendati demikian, opini publik Israel sebagian besar tetap mendukung operasi militer. Trauma nasional akibat serangan 7 Oktober -,hari paling berdarah bagi warga Yahudi sejak Holocaust,- masih membekas kuat. Banyak warga Israel yang melihat respons militer sebagai langkah yang perlu dan sah secara moral.
Kolumnis senior Israel, Sever Plocker, dalam artikelnya baru-baru ini, mengulas dampak psikologis dari serangan Hamas dan bagaimana gambar warga sipil Palestina yang bersorak menyambut pejuang Hamas memperkuat persepsi publik Israel. “Kehancuran di Gaza dipandang bukan hanya sebagai pembalasan. Tetapi juga sebagai penangkal yang sah dan penting,” ucap Plocker.
Terlepas dari atmosfer tersebut, baik B’Tselem maupun PHR-Israel menegaskan bahwa laporan mereka disusun berdasarkan penelitian lapangan, kesaksian penyintas, dan analisis hukum. Direktur Eksekutif B’Tselem, Yuli Novak, mengakui bahwa kesimpulan tersebut sangat sulit diterima secara emosional oleh timnya.
“Menuduh negara sendiri melakukan kejahatan sebesar ini nyaris tak tertahankan. Namun kami tidak bisa diam. Diam berarti turut serta,” ujar Novak dengan suara bergetar.
PHR-Israel, yang sejak awal memperingatkan runtuhnya sistem kesehatan di Gaza, menyampaikan kekhawatiran serupa. Direktur organisasi tersebut, Guy Shalev, mengungkapkan bahwa lembaganya kini mulai menghadapi tekanan institusional. “Kami sudah melihat tanda-tanda awal pembekuan rekening bank, intimidasi hukum, dan penurunan dukungan dana. Kami perkirakan tekanan ini akan meningkat,” ujar Shalev.
Pemerintah Israel tetap mempertahankan narasi bahwa operasi militernya ditujukan untuk menghancurkan Hamas, bukan warga sipil, serta menuduh Hamas menggunakan warga sebagai tameng manusia — tuduhan yang dibantah oleh Hamas.
Sementara itu, perhatian media domestik Israel masih terfokus pada nasib para sandera dan trauma kolektif akibat serangan awal, menyisakan ruang yang sangat sempit untuk refleksi atas dampak kemanusiaan dari perang yang tengah berlangsung.
Apakah laporan dari B’Tselem dan PHR-Israel mampu menggeser perdebatan publik masih menjadi pertanyaan. Namun untuk saat ini, laporan tersebut berdiri sebagai upaya langka -,dan sangat kontroversial,- dari dalam negeri Israel sendiri untuk menghadapi pertanyaan paling kelam seputar perang di Gaza.
(Muhammad Reyhansyah)