Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakut Terinspirasi 6 Tokoh Ekstrem, Siapa Saja?

Lokasi ledakan di Masjid SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Media Indonesia

Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakut Terinspirasi 6 Tokoh Ekstrem, Siapa Saja?

Riza Aslam Khaeron • 13 November 2025 21:03

Jakarta: Ledakan yang mengguncang SMAN 72 Jakarta Utara pada Jumat siang, 7 November 2025, menjadi peristiwa yang mengejutkan publik. Kejadian ini terjadi di dua lokasi dalam lingkungan sekolah, yakni di area masjid dan dekat bank sampah saat khotbah Salat Jumat berlangsung. 

Yang mengejutkan, hasil penyelidikan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengungkap bahwa pelaku F membawa dua senjata mainan yang dipenuhi simbol dan tulisan terinspirasi dari sejumlah tokoh ekstrem internasional.

Simbol-simbol tersebut, menurut keterangan resmi Densus 88, bukan merupakan hasil doktrin langsung ataupun keterlibatan dalam jaringan tertentu, tetapi cerminan dari pengaruh tokoh-tokoh kekerasan yang dikenal luas lewat internet dan komunitas daring.

Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menegaskan bahwa meski F tidak memiliki afiliasi langsung dengan kelompok teror tertentu, ia terdokumentasi mempelajari dan meniru gaya serta motif kekerasan dari enam tokoh ekstrem yang memiliki riwayat penyerangan brutal di berbagai negara. 

Berikut ini adalah daftar enam tokoh ekstrem yang menjadi inspirasi pelaku F dalam kasus ledakan SMAN 72 menurut pemaparan resmi kepolisian.
 

Eric Harris dan Dylan Klebold


Sumber: Istimewa

Eric Harris (18) dan Dylan Klebold (17) adalah dua pelajar yang melakukan penembakan massal di Columbine High School, Littleton, Colorado, Amerika Serikat, pada 20 April 1999. Mereka membunuh 12 siswa dan satu guru, serta melukai lebih dari 20 orang lainnya sebelum akhirnya bunuh diri di lokasi kejadian.

Tragedi ini menjadi penembakan sekolah terburuk di Amerika Serikat pada masanya dan memicu perdebatan nasional mengenai kepemilikan senjata api, keamanan sekolah, dan pengaruh budaya kekerasan terhadap remaja.

Keduanya merencanakan serangan ini selama lebih dari satu tahun. Harris dan Klebold awalnya berusaha meledakkan dua bom propana di kafetaria sekolah, yang dirancang untuk membunuh ratusan siswa sekaligus. Namun, bom tersebut gagal meledak.

Mereka kemudian memulai penembakan sekitar pukul 11.19 pagi dan bergerak dari luar ke dalam gedung sekolah, termasuk ke perpustakaan di mana sebagian besar korban berjatuhan. Mereka mengakhiri hidup sendiri tak lama setelah pukul 12 siang.

Dalam penyelidikan pasca-kejadian, ditemukan jurnal dan dokumen digital yang menunjukkan bahwa Harris dan Klebold terdorong oleh rasa benci, keinginan membalas dendam, serta obsesi dengan kekerasan.

Mereka juga dipengaruhi oleh budaya digital yang penuh kekerasan dan narasi supremasi, meskipun tidak terbukti menjadi bagian dari kelompok terorganisir. 
 

Dylann Roof


Sumber: Charleston County Sheriff's Office

Dylann Roof adalah pelaku penembakan brutal bermotif rasial di Gereja Emanuel African Methodist Episcopal (AME), Charleston, South Carolina, Amerika Serikat, pada 17 Juni 2015.

Saat itu berusia 21 tahun, Roof yang mengaku sebagai supremasis kulit putih menyusup ke kelompok studi Alkitab di gereja tersebut, berbaur selama 45 menit, lalu melepaskan tembakan saat para jemaat menutup mata untuk doa penutup.

Ia menembak secara membabi buta, mengisi ulang senjata beberapa kali, dan menewaskan sembilan orang jemaat berkulit hitam, termasuk tiga pendeta.

Aksi Roof disebut sebagai kejahatan rasial yang keji dan telah mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Dalam sidang pengadilan federal tahun 2017, ia dijatuhi hukuman mati atas sembilan dakwaan pembunuhan bermotif kebencian rasial.

Pengadilan banding tingkat keempat Amerika Serikat pada tahun 2021 menguatkan hukuman mati tersebut, menyatakan bahwa “tak ada rekaman dingin maupun tafsir hukum yang mampu menggambarkan sepenuhnya horor dari tindakan Roof.

Dalam dokumen pengadilan terungkap bahwa Roof sengaja menyisakan satu korban hidup dan berkata, “Aku akan membiarkanmu hidup untuk menceritakan ini,” sebagai bentuk teror psikologis.

Beberapa tahun setelah peristiwa tersebut, Roof tetap menunjukkan pembelaan atas keyakinan ideologisnya dan menolak bantuan hukum untuk mengurangi hukuman mati.
 

Alexandre Bissonnette


Foto: Facebook via BBC

Alexandre Bissonnette adalah pelaku penembakan di Masjid Pusat Kebudayaan Islam Quebec, Kanada, pada malam tanggal 29 Januari 2017. Ia menewaskan enam orang jamaah dan melukai beberapa lainnya saat para korban baru saja selesai menunaikan ibadah. Aksi ini disebut sebagai salah satu insiden penembakan bermotif kebencian paling mematikan dalam sejarah Kanada.

Bissonnette yang saat itu berusia 27 tahun, kemudian mengaku bersalah atas enam dakwaan pembunuhan tingkat pertama dan enam dakwaan percobaan pembunuhan. Ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dengan kemungkinan pembebasan bersyarat setelah 40 tahun.

Hakim Pengadilan Tinggi Kanada menyatakan bahwa meskipun aksinya tidak secara hukum digolongkan sebagai terorisme, ia dilakukan dengan motivasi prasangka terhadap imigran Muslim dan telah mengguncang nilai-nilai multikulturalisme Kanada.

Dalam penyelidikan, terungkap bahwa Bissonnette sebelumnya telah mempertimbangkan untuk menyerang berbagai target lain, termasuk pusat perbelanjaan, bandara, dan kelompok feminis. Ia juga mengungkap kepada pekerja sosial bahwa ia ingin mendapatkan “ketenaran” dari aksinya dan menyesal karena tidak membunuh lebih banyak orang.
 
Baca Juga:
Ledakan SMAN 72 Jakut Digolongkan Sebagai Memetic Violence, Apa Itu?
 

Vladislav Roslyakov


Sumber: Wikimedia Commons

Vladislav Roslyakov adalah pelaku serangan mematikan di Kerch Polytechnic College, wilayah Crimea, Rusia, pada 17 Oktober 2018. Dalam serangan tersebut, Roslyakov—mahasiswa tahun keempat berusia 18 tahun—memasang bom berisi logam di kafetaria kampus dan kemudian menembaki siapa pun yang ia temui di dalam gedung.

Sebanyak 19 orang tewas dan 53 lainnya luka-luka dalam peristiwa tersebut.

Aksi dimulai ketika Roslyakov datang ke kampus membawa senjata api dan meletakkan ransel berisi bom yang kemudian ia ledakkan secara jarak jauh. Setelah ledakan, ia berpindah dari satu ruang ke ruang lain sambil menembaki mahasiswa dan guru.

Tubuhnya ditemukan di perpustakaan kampus, tewas karena luka tembak yang diduga bunuh diri. Penyelidikan awal sempat menganggapnya sebagai aksi teror, namun kemudian diklasifikasi sebagai pembunuhan massal.
 

Brenton Tarrant


Sumber: Sky News

Brenton Harrison Tarrant adalah pelaku serangan teror supremasi kulit putih yang menewaskan 51 jamaah di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019. Aksi itu menjadi serangan terburuk dalam sejarah modern Selandia Baru dan mengguncang dunia.

Dalam persidangan Agustus 2020, Tarrant dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa peluang pembebasan bersyarat—hukuman pertama dalam sejarah negara tersebut.

Tarrant, pria asal Australia berusia 29 tahun, mengakui seluruh dakwaan, termasuk 51 pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan satu dakwaan terorisme. Hakim Cameron Mander menyebut tindakannya sebagai “tidak manusiawi” dan menegaskan bahwa bahkan jika dipenjara hingga mati, itu belum cukup untuk menebus kekejian yang dilakukan.

Ia digambarkan tidak menunjukkan penyesalan, tidak memiliki rasa malu, dan bersifat dingin selama persidangan

Serangan dilakukan dengan menargetkan jamaah salat Jumat di Masjid Al Noor, lalu berlanjut ke Linwood Islamic Centre. Tarrant menyiarkan aksinya secara langsung melalui kamera yang dipasang di tubuhnya, menandai salah satu karakter kekerasan modern yang sangat memanfaatkan media daring.

Ia kemudian ditangkap oleh polisi saat dalam perjalanan menuju target ketiga yang sudah ia rencanakan.

Penyelidikan mengungkap bahwa Tarrant adalah seorang supremasis kulit putih yang aktif di forum ekstremis, pernah melakukan perjalanan panjang ke berbagai negara, dan mempublikasikan manifesto rasis berisi glorifikasi kekerasan sebelum melakukan serangan.
 

Natalie Lynn “Samantha” Rupnow


Sumber: Wikimedia Commons

Natalie Lynn “Samantha” Rupnow adalah pelaku penembakan di Abundant Life Christian School, Madison, Wisconsin, Amerika Serikat, yang terjadi pada 16 Desember 2024.

Dalam serangan tersebut, Rupnow yang berusia 15 tahun menembak mati dua orang—seorang guru dan seorang siswa—dan melukai enam lainnya sebelum akhirnya bunuh diri dengan senjata api di lokasi kejadian.

Dalam penyelidikan, diketahui bahwa Rupnow memiliki riwayat gangguan kesehatan mental, termasuk tindakan menyakiti diri sendiri, ancaman bunuh diri, serta pengalaman kekerasan verbal dari orang tua. Ia juga sempat bergabung dalam klub menembak bersama ayahnya beberapa bulan sebelum penembakan.

Ia memeroleh akses ke brankas senjata milik ayahnya dan bahkan menulis dalam dokumen pribadinya bahwa ia memperoleh senjata melalui “kebohongan, manipulasi, dan kebodohan ayahku”.

Rupnow diketahui aktif di forum daring ekstremis, memiliki akun media sosial dengan simbol dan istilah yang terasosiasi dengan supremasi kulit putih, serta menulis manifesto berjudul War Against Humanity yang berisi kebencian terhadap umat manusia dan kekaguman terhadap pelaku penembakan sekolah lainnya.

Ia juga mengenakan kaus band KMFDM—simbol yang pernah dipakai Eric Harris dari kasus Columbine—dan disebut pernah berinteraksi di grup Telegram yang juga digunakan oleh pelaku penusukan masjid di Eski?ehir.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)