Kongres Pemuda I. (Museumsumpahpemuda.kemdikbud.go.id)
Riza Aslam Khaeron • 25 October 2025 17:43
Jakarta: Menjelang Hari Sumpah Pemuda ke-97 pada 28 Oktober 2025, semangat untuk mengenang perjuangan generasi muda Indonesia kembali menggelora. Kongres Pemuda II tahun 1928 dikenang sebagai titik balik sejarah yang melahirkan ikrar satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.
Namun, di balik gegap gempita Sumpah Pemuda, tersimpan kisah menarik tentang bagaimana para pemuda saat itu harus berjibaku menyiasati kekuasaan kolonial agar kongres kebangsaan itu mendapat restu dan tidak dibubarkan.
Kala politik saat masa kebangkitan nasionalisme Indonesia tersebut, pemerintah Belanda sangat waspada terhadap segala bentuk perkumpulan rakyat. Setiap pertemuan pemuda bisa saja dicurigai sebagai aksi subversif, dan segera dibubarkan oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID), intelijen khusus Hindia Belanda.
Namun, para pemuda punya cara tersendiri untuk "mengelabui" pemerintah kolonial agar kongres bersejarah yang dikenang bangsa tersebut diizinkan. Berikut tiga cara cerdik yang mereka tempuh.
Buat Naskah Bersih dan Alihkan Perhatian PID (Kongres Pemuda I)
Melansir buku
Sumpah Pemuda: Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional publikasi Museum Sumpah Pemuda tahun 2008, langkah awal dalam menghindari pengawasan ketat pemerintah kolonial Belanda dilakukan pada pelaksanaan Kongres
Pemuda Pertama yang berlangsung pada tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926.
Dalam kongres tersebut, panitia dengan cermat menunjuk Mohammad Tabrani, seorang wartawan yang dikenal cerdas dan aktif dalam organisasi pemuda Jong Java, sebagai Ketua Kongres.
Sebagai bagian dari strategi untuk menghindari intervensi aparat kolonial, Tabrani bersama sejumlah tokoh lain seperti Muhammad Yamin, Sanusi Pane, dan Djamaloedin, mengambil langkah untuk menyaring dan menyeleksi seluruh naskah pidato yang akan disampaikan dalam forum.
Tabrani juga memanfaatkan kapasitasnya sebagai wartawan untuk mendekati Visbeen, pejabat intelijen Belanda dengan jabatan resmi Hoofdparker Commisaris PTD (Komisaris Kepala Polisi Intelijen).
Menyadari bahwa Visbeen resah karena khawatir akan kerepotan membuat laporan jika
pemuda berbuat "macam-macam", Tabrani secara strategis menawarkan bantuan: ia akan menyerahkan salinan naskah pidato yang telah ia seleksi sebelumnya.
Dengan demikian, Visbeen tidak perlu repot-repot untuk membuat catatan lapangan.
Taktik tersebut berhasil. Visbeen tidak menyadari bahwa dirinya telah dikelabui dan justru merasa sangat terbantu. Tidak hanya itu, untuk semakin memperkuat strategi pengelabuan ini, Tabrani meminta bantuan dari R. Abdoel Rahman, seorang Asisten Wedana yang bersimpati pada perjuangan
pemuda.
Rahman mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk terus berdialog dan mengalihkan perhatian Visbeen maupun pejabat Belanda lainnya selama kongres berlangsung. Melalui strategi yang matang dan koordinasi yang rapi, Kongres
Pemuda Pertama dapat berlangsung tanpa gangguan berarti dan lolos dari intervensi PID.
Mengganti Istilah "Merdeka" dengan Bahasa Terselubung (Kongres Pemuda Kedua 1928)
Dua tahun kemudian, tantangan yang dihadapi oleh
pemuda Indonesia semakin berat. Setelah pecahnya Pemberontakan PKI pada tahun 1926, pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan represif yang dikenal dengan nama Vergader Verbond, yakni larangan keras untuk mengadakan rapat atau pertemuan, terutama yang dihadiri lebih dari tiga orang tanpa izin resmi dari pemerintah.
Dalam suasana penuh tekanan itu, Kongres
Pemuda Kedua digelar pada tanggal 27 Oktober 1928. Ketua Kongres, Soegondo Djojopoespito dari organisasi PPPI, sadar betul bahwa setiap kata yang diucapkan dalam forum dapat disalahartikan oleh aparat sebagai bentuk agitasi politik.
Saat pembicara pertama, Dr. Mohammad Amir, menyampaikan pidato dan mulai menyebut istilah "kemerdekaan," Patih Batavia yang hadir langsung menyampaikan keberatannya dan meminta agar kata tersebut tidak digunakan.
Menanggapi hal ini, Soegondo mendekati Amir untuk menyampaikan peringatan dari pihak kepolisian. Namun, ia secara halus menambahkan bahwa meskipun kata "kemerdekaan" dilarang secara lisan, maknanya tetap bisa dipahami bersama.
"Yang penting kita tahu sama tahu saja," ujar Soegondo.
Pada sesi berikutnya, ketika Inoe Martakoesoema menggunakan bahasa tersirat dengan menyampaikan harapan agar Indonesia suatu hari nanti bisa "sejajar dengan Inggris dan Belanda," yang tentu saja bermakna merdeka, kepala polisi kolonial van der Plugt langsung menghentikan pidatonya.
Sejak kejadian tersebut tersebut, para pembicara menjadi lebih berhati-hati dan memilih diksi yang "terbelit-belit".
Melantunkan Indonesia Raya Tanpa Syair
Salah satu momen paling bersejarah dalam Kongres
Pemuda Kedua adalah ketika Wage Rudolf Soepratman ingin memperdengarkan lagu ciptaannya yang berjudul "Indonesia," yang kelak dikenal sebagai "Indonesia Raya."
Lagu ini dianggap sangat menggugah semangat kebangsaan, namun juga berpotensi menimbulkan kekhawatiran aparat kolonial.
Soepratman menyerahkan notasi dan lirik lagu tersebut kepada Soegondo. Setelah membaca dan memahami makna syairnya, Soegondo merasa gembira sekaligus waswas. Ia mengkhawatirkan kemungkinan kongres digagalkan oleh pemerintah kolonial bila lagu itu diputar secara utuh.
Karena itu, Soegondo berkonsultasi dengan van der Vlaas, perwakilan dari Kantor
voor Inlandsche Zaken (Kantor Penasehat Urusan Bumiputra) yang dikenal lebih moderat di antara pejabat kolonial lainnya.
Dalam diskusi tersebut, van der Vlaas menyatakan keberatan jika lagu diperdengarkan secara lengkap dengan syair. Namun ia menyetujui agar lagu hanya diputar dalam bentuk melodi instrumental saja. Soepratman pun mematuhi kesepakatan tersebut dan memainkan lagu tersebut dengan biola.
Ketika lagu diperdengarkan dalam forum, para petugas PID yang hadir dikabarkan tampak "terbengong-bengong," entah karena belum memahami sepenuhnya makna lagu tersebut atau karena benar-benar tersentuh berdasarkan buku yang dipublikasi Museum Sumpah
Pemuda tersebut.
Lagu tersebut kemudian menjadi lagu wajib yang terus dinyanyikan dalam setiap pertemuan pergerakan nasional.
Dengan kecerdikan, kesabaran, dan kepemimpinan yang bijaksana, para
pemuda Indonesia pada masa itu berhasil menyelenggarakan dua kongres besar yang menjadi tonggak lahirnya Sumpah Pemuda.
Mereka melangkah di tengah tekanan politik kolonial, namun tetap mampu menyampaikan semangat persatuan, kebangsaan, dan kemerdekaan melalui cara-cara yang tidak frontal namun penuh makna.