Ilustrasi PKI. (Istimewa)
Riza Aslam Khaeron • 25 October 2025 15:38
Jakarta: Menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 pada 28 Oktober 2025, masyarakat kembali mengenang momen bersejarah lahirnya semangat kebangsaan Indonesia melalui Kongres Pemuda II tahun 1928. Peristiwa penting ini melibatkan beragam organisasi pemuda dari berbagai latar belakang kedaerahan, keagamaan, dan kebudayaan.
Di antara peserta kongres terdapat nama-nama seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Betawi, PPPI, hingga organisasi Islam Jong Islamieten Bond.
Namun, dari beragam organisasi yang hadir dan menyepakati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, tidak tampak keterlibatan organisasi yang berafiliasi dengan paham komunis. Tidak ada organisasi pemuda yang secara ideologis terhubung dengan ideologi Marxis-Leninisme maupun Partai Komunis Indonesia (PKI), meskipun PKI saat itu merupakan kekuatan politik yang sudah lebih dulu memiliki jaringan luas dan struktur nasional.
Mengapa mereka tidak ikut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menilik kembali Pemberontakan pertama mereka di Nusantara tahun 1926-1927, hampir 40 tahun sebelum pemberontakan mereka yang lebih terkenal tahun 1965.
Pemberontakan PKI 1926–1927
Foto: Korban Pemberontakan di Silungkang, Januari 1927. (
Pemberontakan PKI tahun 1926–1927 berakar dari krisis ganda yang melanda partai: represi kolonial yang kian keras dan konflik internal yang membuat struktur kepemimpinan rapuh. Pada Desember 1925, kelompok ultra-kiri yang dipimpin Sardjono mengambil alih kendali dan memutuskan untuk melancarkan pemberontakan nasional—sebuah keputusan yang diambil dalam pertemuan di Prambanan, dikenal sebagai Keputusan Prambanan.
Meski awalnya dijadwalkan pada Juli 1926, pemberontakan ditunda akibat ketidaksepakatan internal dan antisipasi dari pemerintah. Namun pada 12 November 1926, letupan terjadi di Banten dan Batavia. Aksi ini berlangsung secara kacau dan tidak terkoordinasi. Pemerintah segera melakukan penindakan, dan banyak tokoh penting PKI ditangkap dalam beberapa hari setelahnya.
Sementara itu, di Sumatra Barat, pemberontakan baru pecah pada 1 Januari 1927. Kawasan ini telah menjadi basis penting bagi gerakan kiri karena pertautan erat antara Islam modernis, nasionalisme, dan sosialisme. Pusat-pusat radikalisme muncul di Padang Panjang, Silungkang, dan Padang.
Silungkang, yang terhubung dengan jaringan buruh tekstil dan tambang, memegang peran utama. Tokoh-tokoh seperti Sulaiman Labai dan Kamaruddin gelar Manggulung menjadi pemimpin lokal yang aktif memobilisasi massaI.
Pemberontakan di Silungkang berlangsung brutal dan tak terkendali. Penangkapan tokoh senior membuat komando jatuh ke tangan pemuda dan bekas kriminal. Mereka membunuh mandor Belanda, menyita senjata, dan mengeksekusi tokoh-tokoh lokal yang dianggap pro-Belanda.
Di sekitar 18 nagari, kekacauan merajalela. Di tempat lain, seperti Sawahlunto, rencana pemberontakan gagal total karena pasukan Belanda telah menangkap puluhan simpatisan dua hari sebelum hari-H. Akibatnya, kelompok utama yang hendak menyerang justru melarikan diri sebelum bertempur.
Belanda merespons dengan sangat keras. Setidaknya lebih dari 100 orang tewas dalam operasi penindakan, dan ribuan orang ditangkap.
Pelarangan Komunisme oleh Pemerintah Kolonial Belanda
Foto: Tahanan komunis diturunkan di Boven Digoel, 1927. (Dok. Arsip Nasional Belanda)
Setelah pemberontakan PKI 1926–1927 berhasil ditumpas, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan represif yang secara efektif menjadikan komunisme sebagai gerakan yang dilarang.
Melansir esai Takashi Shiraishi berjudul Policing the Phantom Underground, pada 30 Juli 1927, Jaksa Agung Hindia Belanda menyatakan kepada para pemimpin daerah Hindia-Belanda bahwa “secara praktis PKI adalah asosiasi yang dilarang.”
Hal ini berarti setiap bentuk kegiatan yang menyerupai propaganda, perekrutan, atau pengorganisasian yang terkait dengan komunisme dapat langsung ditindak, baik melalui penangkapan maupun interniran, tanpa perlu proses pengadilan formal.
Tindakan represif berlangsung massif. Dalam hitungan bulan setelah pemberontakan, sekitar 13.000 orang ditangkap. Dari jumlah itu, 4.500 dijatuhi hukuman penjara, 1.308 diasingkan ke Boven Digoel, dan beberapa dieksekusi karena keterlibatan langsung dalam kekerasan.
Selain itu, organisasi-organisasi afiliasi seperti Sarekat Rakjat dan VSTP dibubarkan, dan sejumlah rumah serta markas kader digeledah di berbagai daerah sepanjang 1927–1928.
Belanda juga memperluas pelarangan terhadap individu dan ideologi. Tokoh-tokoh seperti Iwa Koesoema Soemantri dan simpatisan Tan Malaka menjadi sasaran interniran, bukan karena tindakan langsung, melainkan karena latar belakang pendidikan atau jaringan ideologis mereka.
Karena pemberontakan tersebut, Komunisme diperlakukan sebagai ancaman asing yang harus dicegah sebelum berakar kembali di Hindia Belanda. Inilah yang menjelaskan mengapa, pada tahun 1928, tidak ada satu pun organisasi pemuda berhaluan kiri yang tampak di
Kongres Pemuda II.
Gerakan mereka telah dianggap ilegal pada saat peristiwa itu berlangsung, sedangkan Kongres berjalan atas izin pemerintah Hindia-Belanda dengan pengawasan ketat Polisi Rahasia Hindia Belanda atau Politiek Inlichtingen Dienst (PID).