Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. (MI/Ebet)
Abdul Kohar • 15 January 2025 06:36
PADA 1988, penulis kenamaan asal Jepang, Yoshihara Kunio, merilis buku The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia. Buku yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Kapitalisme Semu Asia Tenggara itu sangat menghebohkan, sampai-sampai membuat kuping penguasa Orde Baru tersengat. Karena itu, pada September 1991, Kejaksaan Agung melarang peredaran buku tersebut.
Penyebab munculnya pelarangan: Yoshihara Kunio, sang penulis, dianggap mendiskreditkan Presiden Soeharto. Buku itu dianggap menyejajarkan Presiden Soeharto serupa Presiden Filipina Ferdinand Marcos, yang gemar 'memelihara' elite pengusaha kakap. Di Indonesia, para elitenya elite pengusaha yang dekat dengan penguasa itu dulu dikenal sebagai konglomerat.
Penyejajaran itulah yang disoal dan tidak bisa 'diampuni'. Kunio tentu membantah dianggap telah menyejajarkan bahkan mendiskreditkan Presiden Soeharto. Ia berargumentasi bahwa yang ditulisnya merekam fakta. Toh, kendati dilarang, saat kuliah, saya masih bisa mendapati buku itu secara lumayan mudah.
Kapitalisme dianggap semu, tulis Kunio, karena campur tangan pemerintah yang mendominasi lapisan atas perekonomian. Kondisi itu melahirkan pemburu rente di kalangan birokrat pemerintah yang menghambat perkembangan wirausaha di luar lingkaran elite sehingga membuat pengusaha lainnya kesulitan bersaing. Mereka kalah 'lari' karena tidak memiliki koneksi kuat dengan pemerintah dan birokrasi.
Istilah 'pemburu rente' merujuk pada kapitalis yang aktif memanfaatkan hubungan mereka dengan pemerintah atau birokrasi untuk meraih keuntungan bisnis melalui keringanan pajak, proteksi, izin ekspansi, dan wewenang khusus. Istilah itu berbeda di berbagai negara. Di Filipina, mereka dikenal sebagai 'kapitalis konco' semasa pemerintahan Marcos. Di Thailand, mereka disebut 'kapitalis birokrat'.
Sementara itu, di Indonesia dan di Malaysia yang memiliki kesultanan atau kerajaan, menurut Kunio, mereka disebut 'kapitalis keraton' yang melibatkan keluarga kerajaan dalam kegiatan bisnis. Intinya ialah 'pertalian yang kuat' antara elite pemerintahan dan elite pengusaha.
Kunio menitikberatkan pembahasan pada kekuasaan pemburu rente dalam memonopoli perekonomian untuk mendapatkan keuntungan dengan cepat. Berbagai keistimewaan, kemudahan, fasilitas tersebab koneksi yang kuat itulah yang direkam Kunio sebagai ersatz capitalism, atau kapitalisme semu.
Dalam perkembangan yang lebih jauh, orang berganti, rezim berubah, tapi jejak kapitalisme semu tidak sepenuhnya hilang. Perjalanan temali perkoncoan antara penguasa dan sekelompok elite pengusaha terus berlanjut. Sejumlah orang dan kritikus menyebut istilah 'sembilan naga', misalnya, untuk merujuk kedekatan elite pengusaha tertentu dengan penguasa.
Para kritikus bahkan menggambarkan keistimewaan yang diperolah elitenya, elite itu bisa seperti 'negara dalam negara'. Bukan sekadar praktik kapitalisme semu, melainkan sudah jauh lagi, kemampuan untuk menekan, mengatur, dan menentukan laiknya negara.
Baca Juga:
Kontras Tolak Rencana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Kepada Soeharto |