Mengapa Raja Surakarta Dimakamkan di Yogyakarta, Ini Penjelasan Sejarahnya

Kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul. Sumber: Kratonjogja.id

Mengapa Raja Surakarta Dimakamkan di Yogyakarta, Ini Penjelasan Sejarahnya

Whisnu Mardiansyah • 3 November 2025 13:14

Yogyakarta: Sebuah kesepakatan di sebuah desa terpencil pada pertengahan Februari 1755, selamanya mengubah peta politik, budaya, dan spiritual Pulau Jawa. Perjanjian Giyanti bukan sekadar dokumen damai, melainkan pisau bedah yang membedah tubuh Kerajaan Mataram Islam menjadi dua entitas baru: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Peristiwa ini menjadi penanda awal intervensi kolonial Belanda (VOC) yang kian dalam ke jantung kekuasaan Jawa, sekaligus melahirkan dua kutub kebudayaan yang hingga hari ini tetap bersinar.

Perebutan Tahta dan Campur Tangan Asing

Menjelang pertengahan abad ke-18, Kerajaan Mataram Islam mengalami kemerosotan. Pasca-wafatnya Amangkurat IV, tahta kerajaan dipegang oleh Pakubuwana II. Masa pemerintahannya diwarnai oleh intrik dan perang suksesi yang tak kunjung usai. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk semakin menancapkan pengaruhnya.

Situasi krisis mencapai puncaknya pada 1749. Pakubuwana II, yang sedang terbaring sakit, didesak untuk menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Keputusan kontroversial ini secara resmi menjadikan Belanda sebagai “penjamin” kekuasaan di tanah Jawa. Setelah wafatnya Pakubuwana II, VOC mengangkat putranya sebagai Pakubuwana III.

Namun, keputusan itu tidak diterima oleh semua pihak. Pangeran Mangkubumi, sang paman yang merasa haknya atas takhta terampas, menolak keras dominasi asing tersebut. Ia memandang tindakan Pakubuwana II telah mengkhianati kedaulatan dan martabat Mataram.


Dok: Instagram @brmprabu

Sejak 1749, Pangeran Mangkubumi memimpin perlawanan bersenjata melawan pasukan VOC dan sekutunya dari Surakarta. Ia bersekutu dengan Raden Mas Said, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, seorang panglima perang tangguh yang juga memusuhi kolonialisme Belanda. Perang saudara berkecamuk, meluas ke berbagai wilayah Jawa Tengah dan menimbulkan penderitaan luar biasa bagi rakyat jelata.

Di sisi lain, VOC juga menghadapi situasi sulit. Perang berkepanjangan menguras kas keuangan, logistik, dan semangat tempur pasukan mereka. Menyadari mustahil memenangkan konflik secara mutlak melalui jalur militer, Belanda pun memilih opsi diplomatik.

Setelah serangkaian negosiasi yang alot dan penuh liku, akhirnya pada Kamis, 13 Februari 1755, ditandatanganilah naskah perdamaian di Desa Giyanti, Karanganyar, Jawa Tengah. Perjanjian Giyanti menjadi titik akhir konflik bersenjata sekaligus babak baru dalam tata kelola kekuasaan di Jawa.

Inti dari Perjanjian Giyanti sangat jelas dan berdampak luas. Pertama, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua wilayah kekuasaan. Kedua, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I dan berkuasa atas separuh wilayah Kerajaan Mataram (wilayah barat) dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Ketiga, Pakubuwana III tetap berkuasa atas separuh wilayah lainnya (wilayah timur) dengan pusat pemerintahan di Surakarta. Keempat VOC mengakui kedua penguasa ini secara resmi dan menjadikan mereka sekutu dalam struktur politik Hindia Belanda.

Pembagian ini tidak hanya bersifat administratif dan politik. Ia juga memecah simbol-simbol spiritual dan budaya warisan Mataram menjadi dua poros yang masing-masing kemudian berkembang dengan coraknya sendiri.

Dampak Politik: Kemenangan Strategi Divide et Impera

Bagi sejarawan, Perjanjian Giyanti merupakan masterpiece penerapan politik pecah belah (divide et impera) VOC di Jawa. Dengan menciptakan dua pusat kekuasaan yang setara dan saling bergantung pada legitimasi Belanda, VOC berhasil menetralisir ancaman dari kerajaan Jawa yang bersatu. Kini, Belanda dapat leluasa memainkan kedua keraton tersebut satu sama lain tanpa perlu mengeluarkan biaya perang yang besar. Kontrol politik dan ekonomi kolonial pun kian menguat.

Di balik narasi kelam penjajahan, Perjanjian Giyanti justru melahirkan dua pusat kebudayaan Jawa yang sangat dinamis: Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kedua keraton ini, meski terpisah secara politik, tetap menjaga dan melestarikan inti sari kebudayaan Mataram.

Mereka kemudian mengembangkan seni, sastra, arsitektur, dan tata upacara yang berakar sama, tetapi berevolusi dengan gaya, kekhasan, dan filosofi yang unik. Persaingan sehat antarkeduanya justru memacu kreativitas, menghasilkan khazanah budaya Jawa yang sangat kaya dan beragam yang kita warisi hingga saat ini.

Imogiri: Simbol Pemersatu Spiritual di Atas Bukit

Di tengah perpecahan politik, ada satu ikatan yang tidak mampu diputus oleh Perjanjian Giyanti ikatan spiritual leluhur. Ikatan itu terpelihara di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Kompleks makam ini dibangun atas perintah Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar Mataram Islam yang berkuasa pada 1613-1645. Pembangunannya dimulai sekitar 1632 dan rampung pada 1645. Sultan Agung memilih Bukit Merak, sekitar 17 kilometer di selatan Yogyakarta, sebagai tempat peristirahatan terakhirnya yang sakral.

Nama Imogiri diyakini berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, "Himagiri", yang berarti gunung atau tempat tinggi para dewa. Dalam kosmologi Jawa, tempat tinggi dianggap suci dan menjadi penghubung antara dunia manusia dengan alam spiritual serta leluhur.

Meskipun kerajaan telah terbelah dua, baik Yogyakarta maupun Surakarta tetap mengakui diri sebagai penerus sah takhta Mataram Islam. Oleh karena itu, hak spiritual untuk dimakamkan di Imogiri melekat pada kedua dinasti.

Tradisi ini berakar pada keyakinan bahwa Imogiri bukan sekadar kompleks pemakaman, melainkan pusat spiritual dan simbol kesatuan Mataram. Di sanalah bersemayam Sultan Agung, figur "raja pandita" yang dianggap sebagai puncak kewibawaan politik dan keagamaan masyarakat Jawa.

Dengan dimakamkannya para raja dari kedua kerajaan dalam satu kompleks, mereka ingin menunjukkan penghormatan terhadap leluhur dan menjaga kesinambungan spiritual di atas segala perbedaan duniawi.

Hingga kini, kompleks Imogiri terbagi dalam beberapa bagian utama. Kompleks Sultan Agung (pendiri), Kompleks Kasultanan Yogyakarta, dan Kompleks Kasunanan Surakarta. Masing-masing bagian dipisahkan oleh gapura besar dan dijaga ketat oleh abdi dalem dari kedua keraton.

Makna Imogiri bagi Masyarakat Jawa Modern

Bagi masyarakat Jawa kontemporer, Imogiri tetap menjadi situs yang hidup dan penuh makna. Tempat ini adalah simbol kesinambungan sejarah, pengingat bahwa akar budaya mereka tetap satu meski secara politik pernah terpecah.

Setiap tahun, ribuan orang berziarah ke makam Sultan Agung dan raja-raja lainnya, terutama menjelang bulan Sura (Muharam). Upacara pembersihan pusara (nyadran) dilaksanakan dengan tata cara tradisional, mencerminkan perpaduan harmonis antara nilai-nilai Islam dan budaya Jawa yang telah berusia ratusan tahun.

Perjanjian Giyanti dan Kompleks Makam Imogiri bagaikan dua sisi dari satu mata uang sejarah Mataram. Giyanti mewakili sisi duniawi—perpecahan, diplomasi, dan realpolitik kolonial. Sementara Imogiri mewakili sisi spiritual—penyatuan, warisan, dan penghormatan pada leluhur.

Hingga detik ini, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta terus menjalankan tradisi dan upacara adat yang bersumber dari nilai-nilai Mataram. Mereka adalah dua saudara kembar yang terpisah, tetapi tetap terhubung oleh satu jiwa. Dari meja perundingan di Desa Giyanti hingga keheningan sakral di Bukit Imogiri, sejarah Jawa mengajarkan satu pelajaran berharga: kekuasaan fana dapat terbelah, tetapi warisan budaya dan spiritual akan terus menyatukan dari masa ke masa.

*Pengerjaan artikel berita ini melibatkan peran kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan kontrol penuh tim redaksi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Whisnu M)