Kanselir Jerman Olaf Scholz. Foto: EFE-EPA
Fajar Nugraha • 24 May 2024 23:05
Berlin: Jerman mengatakan akan menahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu jika dia menginjakkan kaki di tanah Jerman dan jika Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan perdana menteri Israel atas perannya dalam perang mematikan di Gaza, yang telah menewaskan puluhan ribu orang Palestina.
Juru bicara Kanselir Olaf Scholz mengatakan Jerman “tentu saja” akan melaksanakan surat perintah ICC terhadap Netanyahu, dan menambahkan bahwa Berlin “akan mematuhi hukum” ICC, dalam sebuah pernyataan yang dibuat pada hari Rabu.
Juru bicara pemerintah Jerman Steffen Hebestreit menambahkan bahwa Jerman adalah pendukung “fundamental” ICC.
Pada Senin, Karim Khan, Jaksa ICC, meminta surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tindakan mereka dalam serangan militer negara tersebut di Gaza, yang telah berlangsung selama lebih dari tujuh bulan.
Jaksa juga meminta surat perintah tersebut untuk para pemimpin Hamas Yahya Sinwar, Mohammed Deif dan Ismail Haniyeh.
Khan, kelahiran Inggris, mengatakan bahwa dia yakin tokoh-tokoh Israel dan Palestina bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Israel dan Jalur Gaza yang hancur.
Setelah pengumuman tersebut, Kementerian Luar Negeri Jerman mengatakan pihaknya “menghormati independensi dan prosedur” ICC.
Namun, Berlin mengkritik publikasi tuduhan terhadap pemimpin Israel dan Hamas secara bersamaan. Jerman mengatakan bahwa tindakan tersebut "menciptakan kesan yang salah tentang kesetaraan".
Jerman dengan gigih mendukung Israel selama perang tanpa pandang bulu di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 35.800 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
“Partai oposisi Jerman, CDU mengecam pernyataan kanselir tersebut dan menyebutnya sebagai skandal’,” lapor The Times.
Jerman telah memberikan senjata kepada Israel dan menindak aktivisme pro-Palestina dan tokoh-tokoh Palestina dalam beberapa bulan terakhir.
Ahli bedah Inggris-Palestina, Ghassan Abu Sittah, dilarang memasuki negara itu pada bulan April sebelum ia dijadwalkan berbicara di Kongres Palestina.