Presiden Prabowo Subianto. (BPMI Setpres)
Muhammad Reyhansyah • 25 November 2025 19:03
Jakarta: Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dr. Dino Patti Djalal, menilai diplomasi Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto memasuki fase baru yang lebih agresif dan berorientasi global. Penilaian itu ia sampaikan dalam jumpa media menjelang Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2025, Selasa, 25 November 2025.
Dino mengatakan Prabowo menunjukkan tingkat aktivitas diplomatik yang belum pernah terlihat sebelumnya. “Saya menyebutnya bukan sekadar aktif, tapi hiperaktif. Dalam satu tahun, Presiden Prabowo melakukan 25 kunjungan ke luar negeri. Itu sangat tidak biasa dibanding presiden-presiden terdahulu,” ujarnya.
Menurut Dino, gaya diplomasi yang lebih ekspansif itu mencerminkan keinginan Prabowo untuk menegaskan diri sebagai “presiden yang fokus pada kebijakan luar negeri” serta memperkuat posisi Indonesia di jejaring global. Ia menyebut langkah tersebut memperbesar modal diplomatik Indonesia secara signifikan.
“Dalam setahun, beliau membangun hubungan politik dan diplomatik yang cukup kuat dengan banyak pemimpin dunia, mulai dari Erdogan, Xi Jinping, Lula, Ramaphosa, Macron, hingga Keir Starmer. Dalam diplomasi, hubungan pribadi itu sangat penting karena membentuk koalisi, kepercayaan, dan penyelesaian isu-isu strategis,” jelasnya.
Meski demikian, Dino menilai bahwa pencapaian diplomasi Indonesia kini membutuhkan penjelasan strategis yang lebih komprehensif. Ia menyebut belum ada paparan besar dari Menteri Luar Negeri Sugiono mengenai arah kebijakan luar negeri Indonesia selama satu tahun pemerintahan.
“Dengan begitu banyak isu, seperti BRICS, OECD, ASEAN, Gaza, Thailand–Kamboja, publik butuh penjelasan tentang ambisi dan prioritas kebijakan luar negeri Indonesia. Pertanyaannya: koalisi apa yang ingin kita bangun? Nilai apa yang ingin kita proyeksikan? Itu sebabnya konferensi ini menjadi sangat penting,” kata Dino.
Ia menambahkan bahwa secara eksternal Indonesia berada pada posisi yang relatif aman. “Tidak ada satu pun negara yang menjadi ancaman langsung. Kita punya banyak teman, hubungan strategis kita terjaga. Tantangannya justru pada manajemen internal kebijakan luar negeri,” ujarnya.
Dino juga menyoroti dorongan baru Indonesia terhadap diplomasi multilateral. Setelah satu dekade tanpa kunjungan presiden ke PBB, Prabowo menjadi presiden pertama dalam 10 tahun yang kembali menyampaikan pidato di Sidang Umum PBB. “Itu sinyal bahwa kita ingin bermain lagi di multilateral. Tapi multilateral itu seperti lautan—luas sekali. Kita harus menentukan ceruk dan fokus,” katanya.
Seluruh isu tersebut akan menjadi fokus pembahasan pada CIFP 2025 yang digelar Sabtu, 29 November 2025, mempertemukan pejabat pemerintah, diplomat, akademisi, jurnalis, pelaku bisnis, dan mahasiswa untuk mengevaluasi kinerja diplomasi Indonesia setahun terakhir.
“Dunia sedang berubah menuju tatanan baru, dan Indonesia punya modal politik-diplomatik untuk ikut membentuknya. Karena itu, momen di CIFP tahun ini sangat penting,” pungkas Dino.
Baca juga: CIFP 2025, saatnya Evaluasi Setahun Diplomasi Indonesia di Era Prabowo