Dewan Redaksi Media Group, Ade Alawi. Foto: Media Indonesia (MI)/Ebet.
Media Indonesia • 16 December 2025 05:45
Dalam suatu masyarakat, ulama menempati posisi yang terhormat nan mulia. Tak hanya dalam suatu komunitas masyarakat muslim, komunitas agama lain pun sama. Mereka ialah orang-orang ahli dalam ilmu agama.
Penghormatan dan sikap takzim kepada ulama dari masyarakat tidak hanya disebabkan ilmu agama mereka yang mumpuni, tetapi juga perilaku mereka yang patut dicontoh. Mereka memiliki keutamaan di atas ilmu mereka, yakni akhlak mulia (akhlaqul karimah).
Alhasil, para ulama bukan orang sembarangan. Tak mengherankan mereka disebut 'ahli waris para nabi' (al 'ulama waratsatul anbiya) sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi hanya mewariskan ilmu kepada ulama.
Konflik di tubuh PBNU sejatinya tidak berkepanjangan.
Nahdhatul Ulama yang berarti 'Kebangkitan Ulama' ialah organisasi yang sangat khas. Mereka kumpulan para ulama yang notabene ialah orang-orang terpilih dalam masyarakat yang menaungi sekitar 100 juta warga nahdiyin.
Prahara di organisasi yang berlambang sembilan bintang itu diawali dengan pemecatan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya oleh Rais Am PBNU KH
Miftachul Akhyar.
Alasannya, pertama, Gus Yahya mengundang akademisi pro-Zionis (Peter Berkowitz) ke acara Akademi Kepemimpinan NU yang dianggap pelanggaran berat dan, kedua, di kepengurusan Gus Yahya ada dugaan pelanggaran tata kelola keuangan. Namun, pemecatan tersebut berjalan sepihak tanpa klarifikasi (tabayyun) dari pihak Gus Yahya.
Ulama sepuh NU masygul melihat gegeran yang sebagian kalangan menilai sebagai konflik yang terburuk dalam sejarah NU. Mereka berkumpul di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri, Jatim, Minggu (30/11).
Pertemuan ulama sepuh berlanjut dengan menggandeng Mustasyar (Dewan Penasihat) NU di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Sabtu (6/12). Hasilnya, mereka meminta semua pihak yang bertikai islah dan mematuhi AD/ART NU.
Walakin, genderang perang sudah ditabuh kubu Sultan (kelompok Syuriah yang menggelar rapat pleno di Hotel Sultan), tak bisa diredam. Mereka sudah tidak menganggap lagi kubu Kramat (kelompok Gus Yahya yang berkantor di
PBNU, Jalan Kramat Raya). Bahkan, kubu Sultan juga mengabaikan rekomendasi sesepuh dan Mustasyar NU.
Kubu Sultan tetap menggelar rapat pleno yang menetapkan KH
Zulfa Mustofa sebagai Penjabat Ketua Umum PBNU. Zulfa yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua Umum PBNU mengaku sudah mengantongi restu sang paman, KH Ma'ruf Amin yang juga Mustasyar NU. Namun, sang paman menepisnya.
Kubu Sultan yang diwakili Wakil Rais Am PBNU KH Afifuddin Muhajir merilis dokumen enam poin hujjah syar'i (dasar hukum) berjudul Pemberhentian Ketua Umum PBNU oleh Lembaga Syuriyah: Dalam Timbangan Syariat Islam.
Dalam hujjah syar'i itu disebutkan bahwa pemecatan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU sebagai pilihan terbaik untuk menghindari mafsadah (kerusakan) yang lebih besar yang mengancam eksistensi jam’iyyah (organisasi) NU.
Tentu saja hujjah syar'i pemecatan Gus Yahya ditolak kubu Kramat. Mereka mengadakan diskusi bertajuk Membedah Hujjah KH Afifuddin Muhajir di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Sabtu (13/12).
Menurut Pengurus Pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU Kholili Kholil sebagaimana dimuat pada laman www.nu.or.id, kedudukan AD/ART sebagai kewajiban syar’i dan perlunya bukti konkret (tahqiqul manath) alasan pemecatan
Gus Yahya.
Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. Foto: Metrotvnews.com/Kautsar Widya Prabowo.
Dia menolak pernyataan pihak Syuriyah bahwa ketaatan kepada rais am berada di atas AD/ART. Menurut Kholili, AD/ART ialah al-‘aqd (perjanjian) yang mengikat dan wajib ditaati secara syar’i.
Gonjang-gonjang di tubuh NU harus diakhiri dengan kembali kepada AD/ART, bukan kepada absolutisme Syuriyah. Berbantah-bantah antara kubu Sultan dan Kramat tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, itu memperuncing masalah dan menciptakan gesekan di bawah.
AD/ART ialah tuntunan berorganisasi, penjaga arah organisasi, rujukan penyelesaian konflik, dan alat untuk menjaga muruah dan khitah organisasi.
Rais Am KH Miftachul Akhyar seyogianya istikamah dalam pengantarnya pada dokumen AD/ART hasil Muktamar Ke-34 NU di Lampung pada 2021.
Menurutnya, AD/ART itu ibarat 'tongkat komando' yang dikirim Syaikhona Kholil kepada KH Muhammad Hasyim Asy’ari. "Seperti itulah seharusnya kita memosisikan dokumen AD/ART Nahdlatul Ulama dalam khidmah jam’iyyah," ujarnya.
Ulama senior pemimpin Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya, Jawa Timur, itu mengatakan jangan sampai warga nahdiyin tercerai-berai hanya karena kepentingan-kepentingan sesaat.
"Mereka harus mengikuti satu komando dari PBNU, yang didasarkan kepada AD/ART sebagai amanat muktamar dan didukung para mustasyar," pungkasnya.
NU ialah ormas Islam terbesar di Indonesia. Usia seabad lebih membuktikan organisasi yang disebut Robert W Hefner, profesor antropologi dari AS, sebagai civil Islam (2000), pilar Islam sipil yang mendukung demokrasi dan pluralisme di Tanah Air ini, sudah teruji oleh waktu.
Namun, kebesaran organisasi apalah artinya jika tidak bisa menyelesaikan konflik internal dalam bingkai AD/ART, bukan adu maqam atau adu dalil syar'i.
Nilai-nilai ke-NU-an yang diajarkan para masyayikh, yakni tawassuth (moderat) dan i’tidal (adil), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), bisa menjadi panduan moral para ahli waris nabi itu untuk menyelesaikan konflik.
NU jangan sibuk dengan gontok-gontokan. Banyak agenda besar kebangsaan, bukan pertambangan, menanti kiprah NU, penjaga Islam moderat. Tabik!