Kisah Relawan Thailand Menjaga Desa di Tengah Bentrok dengan Kamboja

Kondisi di area perbatasan Thailand dan Kamboja kembali memanas pada Desember 2025. (Anadolu Agency)

Kisah Relawan Thailand Menjaga Desa di Tengah Bentrok dengan Kamboja

Muhammad Reyhansyah • 15 December 2025 14:38

Bangkok: Sekitar 10 kilometer dari perbatasan Thailand–Kamboja yang disengketakan, Narongchai Putthet berdiri di sebuah pos pemeriksaan pinggir jalan dengan senapan tergantung di seragam biru tuanya. Petani berusia 60 tahun itu kini menjalani peran baru sebagai penjaga keamanan desa.

Narongchai merupakan bagian dari kelompok kecil relawan yang ditunjuk otoritas setempat untuk melindungi komunitas pedesaan Thailand yang hampir kosong, setelah sepekan baku tembak artileri antara dua negara Asia Tenggara itu memaksa ribuan warga mengungsi.

Para relawan menjadi mata dan telinga desa mereka di tengah bentrokan terbaru yang telah menewaskan sedikitnya 27 orang. Konflik ini berakar pada sengketa penetapan perbatasan era kolonial sepanjang sekitar 800 kilometer.

Tugas para relawan mencakup menjaga rumah-rumah kosong dari potensi penjarahan, merawat ternak, serta mengawaki pos pemeriksaan di luar desa yang sunyi. Dentuman artileri masih terdengar dari kejauhan, menggema di ladang padi yang mengering. Semua dilakukan tanpa bayaran, dengan risiko keselamatan yang nyata.

“Meski kami tidak mendapat gaji atau tunjangan, ini sepadan,” kata Narongchai kepada kantor berita AFP, Senin,15 Desember 2025. “Setidaknya kami bisa membantu sesama warga desa. Kami melakukannya dengan hati seorang relawan.”

Dilatih Bertahan dan Melindungi di Tengah Ancaman

Di Provinsi Buriram, kepala desa Komkai Seehanam memimpin sekitar 20 relawan yang bertanggung jawab menjaga harta milik sekitar 500 penduduk.

“Apakah saya takut? Tentu,” ujarnya. “Tapi ada orang-orang yang harus tetap tinggal dan menjaga barang-barang tetangga mereka. Kami benar-benar peduli.”

Sejak pertempuran pecah pada 7 Desember, lebih dari 250.000 warga Thailand mengungsi ke tempat penampungan, sementara puluhan ribu lainnya dievakuasi ke wilayah lain. Mereka yang bertahan di desa biasanya berlindung di bunker pada siang hari dan berpatroli pada malam hari.

Para relawan mengenal setiap sudut desa: keluarga mana yang memelihara babi, ladang mana yang digunakan sebagai kandang sapi. Saat berpatroli, mereka berhenti untuk memberi makan ternak dan menyediakan air bagi anjing-anjing yang menyambut mereka.

Untuk menjalankan tugas tersebut, para relawan mendapat pelatihan dasar dari militer, kepolisian, dan otoritas setempat. Pelatihan meliputi keterampilan bertahan hidup, pertolongan pertama, serta penanganan amunisi yang belum meledak.

“Mereka menunjukkan seberapa jauh peluru bisa meluncur dan apa yang harus dilakukan jika amunisi tidak meledak,” kata Komkai. “Pengetahuan itu membantu kami melindungi orang lain.”

Pelatihan juga mencakup cara bergerak dengan aman di bawah tembakan. “Keselamatan semua orang harus diutamakan. Ini tugas kami dan ini rumah kami, apa pun yang terjadi,” ujarnya.

Keluarga Mengungsi Menunggu dengan Cemas

Di sebuah tempat pengungsian di kompleks Chang International Circuit, sekitar 70 kilometer dari desa, istri Narongchai, Uthai Putthet, duduk di atas tikar jerami sambil menanti kabar dari suaminya.

“Bagaimana keadaan sekarang? Sudah makan hari ini?” tanya petani berusia 53 tahun itu melalui panggilan video.

Sejak bentrokan mematikan pada musim panas lalu, perempuan, anak-anak, dan lansia biasanya dievakuasi lebih dulu, sementara para pria tinggal untuk menjaga properti. Pekan terakhir pertempuran ini kembali memisahkan Narongchai dan Uthai, dengan setiap rentetan tembakan memperpanjang kecemasan mereka.

“Pada Juli lalu, saya harus tinggal di pengungsian sekitar 15 hari. Sekarang tembakan terjadi setiap hari, dan orang-orang bertanya, apakah kita harus hidup seperti ini berbulan-bulan atau bahkan setahun,” kata Uthai. “Ini sangat melelahkan.”

Pengungsi lain, Nattamon Pawaputo, juga menunggu kabar dari suami dan sepupunya yang menjadi relawan penjaga desa di wilayah perbatasan lain.

“Saya khawatir dengan mereka. Saya hampir tidak bisa tidur,” ujarnya. “Tapi saya bangga.”

Seperti sebelumnya, Narongchai dan rekan-rekannya tetap berjaga di pos masing-masing, meski suara tembakan berat terus terdengar. Ia menyadari bahwa bahkan gencatan senjata tidak serta-merta menghapus trauma.

“Bahkan jika semuanya berakhir, kami tetap waspada,” katanya. “Setelah pertempuran terakhir, setiap kali mendengar guntur, saya masih mengira itu suara artileri.”

Baca juga:  Konflik dengan Kamboja, Thailand Umumkan Korban Warga Sipil Pertama

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Willy Haryono)