Konflik dengan Kamboja, Thailand Umumkan Korban Warga Sipil  Pertama

Jembatan dihancurkan oleh serangan udara Thailand, 13 Desember 2025. (EFE/EPA/Agence Kampuchea Presse (AKP)

Konflik dengan Kamboja, Thailand Umumkan Korban Warga Sipil Pertama

Riza Aslam Khaeron • 15 December 2025 12:12

Bangkok: Thailand melaporkan korban warga sipil pertama dalam sepekan bentrokan bersenjata dengan Kamboja.

Melansir The Straits Times yang mengutip AFP, seorang warga sipil Thailand tewas di Provinsi Sisaket, menjadi kematian non-militer pertama di negara itu sejak eskalasi terbaru pecah pada 7 Desember 2025.

Juru bicara Kementerian Kesehatan Thailand, Ekachai Piensriwatchara, mengonfirmasi kematian tersebut kepada AFP. Militer Thailand menyebut korban berusia 63 tahun itu tewas akibat serpihan setelah pasukan Kamboja menembakkan roket BM-21 ke area sipil.

Pada hari yang sama, otoritas Thailand juga melaporkan seorang prajurit tewas akibat rentetan roket yang ditembakkan dari wilayah Kamboja pada 14 Desember 2025. Sementara itu, Kamboja tidak melaporkan korban tambahan pada tanggal tersebut.

Menurut AFP, bentrokan ini dipicu oleh sengketa batas wilayah peninggalan era kolonial di sepanjang garis perbatasan kedua negara yang membentang sekitar 800 kilometer.

Konflik ini telah memaksa sekitar 800.000 warga meninggalkan rumah mereka.

Data resmi pada 14 Desember 2025 mencatat sedikitnya 27 korban tewas, termasuk 15 tentara Thailand dan 11 warga sipil Kamboja. Kedua pihak saling menuduh sebagai pemicu bentrokan, sama-sama mengklaim bertindak untuk membela diri, dan saling menuding telah menyerang warga sipil.

Di Bangkok, juru bicara Kementerian Pertahanan Thailand, Surasant Kongsiri, mengatakan bahwa Kamboja telah menembaki dan membombardir beberapa provinsi perbatasan sejak malam hingga pagi 14 Desember 2025.

Thailand lalu memberlakukan jam malam di beberapa wilayah Provinsi Sa Kaeo dan Trat dari pukul 19.00 hingga 05.00 waktu setempat.

"Secara keseluruhan, bentrokan terus berlangsung," ujar Laksamana Muda Surasant dalam konferensi pers di Bangkok pada 14 Desember 2025, dikutip AFP.

Kamboja, yang memiliki anggaran pertahanan dan kekuatan senjata lebih kecil, menuduh Thailand melakukan penembakan artileri dan serangan udara di dekat perbatasan pada hari yang sama.
 

Baca Juga:
Klaim Trump Ditepis, Kenapa Thailand-Kamboja Tolak Gencatan Senjata?

Situasi ini berdampak pada mobilitas lintas negara. Setelah usulan gencatan senjata dari Presiden AS Donald Trump tidak terealisasi, Kamboja menutup sejumlah pos perbatasan dengan Thailand pada 13 Desember 2025. Akibatnya, banyak pekerja migran Kamboja tidak bisa kembali ke negaranya.

Di sebuah lokasi pengungsian di Provinsi Banteay Meanchey, seorang warga bernama Cheav Sokun menceritakan bahwa suaminya yang bekerja di Thailand tidak bisa pulang karena penutupan perbatasan.

"Dia meminta saya pulang lebih dulu. Setelah itu, perbatasan ditutup dan dia tidak bisa kembali," ujar Cheav Sokun (38), dikutip AFP.

Di Thailand, warga sipil juga terdampak berat. Pada 14 Desember 2025, pejabat Thailand melaporkan sembilan warga sipil meninggal dunia karena sebab non-tempur setelah dievakuasi dari rumah mereka.

Tekanan ekonomi turut mencuat. Seorang pejabat angkatan laut menyampaikan bahwa para komandan militer Thailand tengah mempertimbangkan pembatasan ekspor bahan bakar ke Kamboja. Mereka juga meningkatkan pengawasan terhadap kapal yang membawa pasokan strategis dan menetapkan zona laut di dekat pelabuhan Kamboja sebagai area berisiko tinggi.

Pada 2024, Thailand mengekspor 2,2 miliar liter bahan bakar ke Kamboja, menurut data Kementerian Energi.

Upaya internasional untuk meredakan ketegangan sejauh ini belum membuahkan hasil. Amerika Serikat, Tiongkok, dan Malaysia (selaku Ketua ASEAN) sempat memediasi gencatan senjata pada Juli 2025.

Pada Oktober 2025, Trump mendukung deklarasi lanjutan disertai pembahasan kesepakatan dagang. Namun, Thailand menangguhkan partisipasinya pada November 2025 setelah tentaranya terluka akibat ranjau darat di perbatasan.

Perdana Menteri Thailand, Anutin Charnvirakul, mengatakan bahwa dalam percakapan telepon dengan Trump pada 12 Desember 2025, presiden AS itu tidak menyampaikan kebutuhan akan gencatan senjata.

Ia juga menambahkan bahwa tidak ada sinyal kesepakatan dagang AS–Thailand akan langsung dikaitkan dengan konflik perbatasan namun menyatakan Thailand akan "mendapatkan manfaat lebih banyak daripada negara lain".

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Arga Sumantri)