Keramik. Foto: IKJ.
Jakarta: Penyebab terpuruknya industri ubin keramik di Indonesia ialah harga gas yang tinggi dan masuknya barang impor dengan harga murah. Padahal keramik merupakan salah satu sektor industri yang masuk prioritas karena memiliki daya saing tinggi.
"Ubin keramik sudah lama memiliki permasalahan berat. Pada 2018 kita mulai mengajukan, sudah suffer itu. Parahnya itu, kenapa industri keramik kita drop, karena ada kenaikan harga gas. Sebelumnya 2015, kita jaya, daya saing kita tinggi," ujar Pejabat Fungsional Pembina Industri Direktorat Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Non Logam (ISKPBGNL) Kemenperin Ashady Hanafie, dilansir
Media Indonesia, Rabu, 17 Juli 2024.
Ashady menyampaikan industri ubin keramik, kaca, dan semen menggunakan gas dalam pembuatannya. Ketika harga gas naik, keramik dalam negeri pun mulai kalah bersaing dengan produk keramik impor.
"Begitu naik, kita drop karena daya saing kita rendah, kalah bersaing harga, kemudian impor masuk. Karena konsumen kita masih concern dengan harga," kata Ashady.
Kapasitas produksi industri keramik pernah berjaya
Berdasarkan catatan Direktorat ISKPBGNL, utilitas kapasitas produksi industri keramik pernah berada di level 90 persen. Namun, setelah harga gas meningkat dan masuknya impor dengan harga murah, produktivitas ubin keramik turun ke tingkat 69 persen pada akhir 2023.
Angka tersebut pun terus menurun. Pada Januari 2024 produktivitas berada pada level 64 persen dan Februari 61 persen. Harga gas bumi sendiri ditetapkan sebesar USD6 per MMBTU. Selain itu, ada kenaikan biaya produksi keramik sebesar hingga 6 persen setelah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.