Jakarta: Kinerja ekspor Indonesia pada periode Juni 2024 mengalami penurunan lantaran pelemahan ekonomi Tiongkok dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky mengatakan, melemahnya ekonomi Tiongkok telah berdampak pada sektor perdagangan di kawasan.
"Dari sisi output melemahnya ekonomi Tiongkok sebagai mitra dagang ekspor," ujar dia dilansir Media Indonesia, Selasa, 16 Juli 2024.
Lalu terkait pelemahan nilai tukar rupiah. Yanuar menjelaskan, kondisi itu berdampak pada harga bahan baku impor yang cukup tinggi.
"Dari sisi input naiknya biaya impor bahan baku akibat pelemahan nilai tukar," ucap dia.
Nilai ekspor Indonesia
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia mencapai USD20,84 miliar pada Juni 2024 secara month to month (mtm).
Angka tersebut lebih rendah 6,65 persen dibandingkan Mei 2024, meski masih tumbuh 1,17 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Tercatat ekspor sektor non-migas yang mengalami penurunan di antaranya adalah bijih logam serta terak dan abu yang turun 98,32 persen dengan andil terhadap ekspor nonmigas 4,57 persen. Lalu, logam mulia dan perhiasan permata yang turun 45,76 persen dengan andil ekspor nonmigas 1,97 persen, serta nikel turun 25,20 persen dengan andil ke ekspor nonmigas sebesar 0,96 persen.
Efek domino pelemahan ekspor
Di samping itu, kata Yanuar, turunnya ekspor Indonesia bisa berdampak ke berbagai sektor. Penurunan kinerja ekspor RI ini semakin memberatkan ekonomi, lantaran pendapatan Indonesia akan berkurang, sementara kebutuhan impor di tengah melemahnya nilai tukar rupiah kian naik.
"Dampaknya, ya mengarah ke PHK," tambahnya.
Meski demikian, neraca perdagangan Indonesia sejauh ini masih surplus. Di Juni 2024, Indonesia mengalami surplus US$2,39 miliar terutama berasal dari sektor nonmigas USD4,43 miliar, meski tereduksi oleh defisit sektor migas senilai USD2,04 miliar.