Aktivis demokrasi, Neni Nurhayati (kiri) bersama kuasa hukumnya saat melayangkan somasi kepada Gubernur dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di Gedung Sate, Bandung, Senin (21/7)
Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat mendapatkan somasi dari seorang aktivis demokrasi, Neni Nurhayati. Hal ini buntut dari unggahan di media sosial Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat yang dianggap telah mencemarkan nama baik.
Bersama sejumlah kuasa hukum, Neni mendatangi kantor Gubernur Jawa Barat, Gedung Sate, Kota Bandung, Senin, 21 Juli 2025 untuk melayangkan somasi. Bahkan, secara tegas mereka pun menuntut Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk meminta maaf atas kejadian tersebut.
Neni menjelaskan, kejadian ini bermula dari unggahan di media sosial pribadinya yang mengkritik kebijakan pemerintah karena sering mengerahkan pendengung atau buzzer untuk menggiring opini masyarakat. Padahal, dia menegaskan unggahannya itu tidak secara spesifik tertuju kepada salah satu instansi manapun, termasuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun Gubernur Dedi Mulyadi.
"Kalau kita lihat di akun tiktok saya, yang menyebutkan tentang bahaya buzzer untuk demokrasi, itu sama sekali saya tidak menyebutkan secara spesifik, tidak menyebutkan salah satu kepala daerah," katanya.
Namun, lanjut dia, reaksi berlebihan dilakukan Dedi Mulyadi dan akun-akun resmi milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat karena telah menyinggung dirinya. Bahkan, akun instagram Diskominfo Pemerintah Provinsi Jawa Barat memajang fotonya dalam unggahan yang berisikan keterangan dari Dedi Mulyadi tentang penggunaan buzzer tersebut.
"Awalnya tidak masalah, ya. Karena ketika terakhir ada narasi (dalam keterangan Dedi Mulyadi) 'salam buat mbak-mbak yang berkerudung', ya sudah. Saya pikir itu bukan untuk saya. Karena tentu mbak-mbak yang berkerudung banyak," katanya.
Akan tetapi, lanjut dia, akun instagram Diskominfo Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah sangat jelas menyasar dirinya karena memajang fotonya dalam unggahan yang berisikan keterangan Dedi tersebut.
"Saya sangat menyayangkan sekali ketika kemudian Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencantumkan foto saya tanpa izin. Kan itu artinya hanya sepihak ya, mengartikulasikan apa maksud dari tiktok saya. Ini tentu sangat disayangkan sekali, karena negara itu seharusnya melindungi kebebasan berpendapat," katanya.
Akibat dari unggahan yang menempelkan fotonya itu, Neni mengaku mendapat banyak serangan dan intimidasi melalui akun media sosial miliknya. Bahkan, di media sosialnya itupun dia mendapat ancaman penyiksaan dari pihak-pihak yang menganggapnya telah menyerang kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
"Brutalnya luar biasa, karena ancamannya itu sudah sampai pada ancaman penyiksaan dan lain sebagainya. Ini bukan hanya permasalahan
hate speech atau caci maki, itu saya sudah biasa. Tapi ini sudah sampai pada ancaman penyiksaan, apalagi ancaman nyawa. Itu yang menurut saya tidak bisa kemudian saya biarkan begitu saja," ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, akun media sosialnya pun sampai diretas oleh pihak-pihak yang merasa tersinggung olehnya. "Akun saya diretas. Bahkan bukan cuma akun saya yang diretas, tapi juga teman-teman saya yang melakukan komentar, misalnya, itu tiba-tiba tidak bisa lagi mengakses akun tersebut. Saya tidak tahu cara mengakses akunnya masing-masing," ujarnya.
Dia pun secara jelas menyebut serangan di media sosialnya ini muncul setelah Dedi Mulyadi menyampaikan keterangan di media sosial terkait penggunaan
buzzer. "Sebetulnya, ini muncul ketika Kang Dedi Mulyadi menyampaikan klarifikasi di media sosial milik Kang Dedi. Padahal, apa yang saya sampaikan tidak secara spesifik ditujukan kepada Kang Dedi," tegasnya.
Kuasa hukum Neni Nurhayati, Ikhwan Fahroji, memastikan pihaknya melayangkan somasi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat atas kejadian tersebut. "Pada hari ini kami menyampaikan somasi kepada Pemprov Jabar dan juga kepada Dinas Kominfo Pemprov Jabar. Kaitannya dengan pemasangan foto tanpa izin di dalam konten terkait dengan klarifikasi atas statement dari Mbak Neni Nurhayati," tegasnya.
Dia menuntut Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi meminta maaf secara terbuka atas rentetan kejadian yang telah merugikan kliennya itu. "Dalam jabatannya sebagai gubernur ya, sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap Pemprov Jabar ya, itu kami juga menuntut permintaan maaf," katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, pemasangan foto kliennya tanpa izin yang dilakukan akun media sosial Diskominfo Pemerintah Provinsi Jawa Barat memicu terjadinya intimidasi kepada kliennya di media sosial.
"Dan itu sangat kontraproduktif dengan upaya kita membangun ruang berekspresi, ruang mengekspresikan pendapat, ruang kebebasan pendapat dan berekspresi yang kondusif," katanya.
Seharusnya, tambah dia, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menjamin kebebasan berpendapat setiap warganya terlebih jika kritik yang dilakukan bertujuan untuk membangun.
"(Unggahan Neni) adalah bagian daripada kritik konstruktif yang seharusnya itu berada dalam perlindungan konstitusional terkait dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat," ujarnya.
Namun, tambahnya, apa yang dilakukan akun resmi Diskominfo Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak mencerminkan hal tersebut. "Penggunaan foto tanpa izin sangat bertolak belakang dengan perlindungan data pribadi, yang itu dilindungi dalam undang-undang. Selain itu, unggahan yang mencantumkan foto juga memicu adanya doxing yang tadi itu. Sehingga menjadikan ruang berekspresi dan berpendapat ini menjadi represif," katanya.
Maka dari itu, pihaknya melayangkan somasi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun Gubernur Dedi Mulyadi. "Kami memberikan waktu 2 x 24 jam untuk melakukan takedown, dan 1 x 5 hari untuk menyelesaikan ini dengan cara minta maaf secara terbuka di media," tegasnya.