Podium Media Indonesia: Debat Pahlawan

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Podium Media Indonesia: Debat Pahlawan

Abdul Kohar • 5 November 2025 06:33

SABAN November tiba, publik, terutama remaja 1990-an, tidak cuma ingat Guns 'N' Roses karena lagu legendaris mereka November Rain. Masyarakat hampir selalu 'diaduk-aduk' dengan perdebatan ihwal pantas atau tidaknya nama-nama tokoh yang diusulkan menjadi calon pahlawan.

Perdebatan kerap bermuara pada 'Kalau si X diajukan, kenapa si Y enggak boleh?', 'Bila si A dinilai layak, kurang layak apa si B?', 'Jika si C dianggap berkhianat sehingga tak boleh diusulkan jadi pahlawan, apakah si D tak cukup berkhianat?'.

Perbincangan soal pahlawan akhirnya tak luput dari tarik-menarik kepentingan politik, juga kerap untuk kepentingan identitas. Padahal, menguatnya kepentingan dan politik identitas yang ditandai dengan desakan akan pengakuan atas identitas sempit, kata Francis Fukuyama (Identity; 2018), akan merontokkan kohesi sosial.

Fukuyama bilang, politik identitas dapat merusak demokrasi karena berfokus pada pengakuan kelompok-kelompok sempit. Politik identitas yang sempit sering kali mengarah ke 'politik kebencian' karena kelompok-kelompok bersaing untuk mendapatkan pengakuan, membuat demokrasi semakin rumit dan memicu konflik. Dalam pengusulan pahlawan, tarik-menarik identitas dan politik bisa saja mengarah ke penguatan identitas kelompok, menggeser substansi kepahlawanan.
 


Saya lalu teringat pernah berdiskusi panjang dengan penulis buku Negara Paripurna, Yudi Latif, soal pahlawan pada 2018. Ketika itu, muncul debat pro dan kontra usul Mr Kasman Singodimedjo diberi gelar pahlawan oleh negara. Yudi Latief menyebutkan bahwa dalam sejarah pergerakan Indonesia, tidak ada tokoh yang melampaui kelengkapan sisi kepahlawanan Kasman Singodimedjo.

Lalu, saya tanya, mengapa negara tak mengakui tokoh Masyumi itu sebagai pahlawan? Alasan politiklah, tandas Yudi, yang menjadi salah satu ganjalan anugerah gelar pahlawan nasional untuk Mr Kasman Singodimedjo. Kasman terlibat dalam Petisi 50, sebuah dokumen yang isinya memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto terhadap lawan-lawan politiknya.

Oleh sebab itu, ketika Presiden Soeharto memberikan penghargaan Bintang Mahaputera kepada semua tokoh yang pernah duduk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 12 Agustus 1992, satu-satunya anggota yang tidak diberi penghargaan tersebut ialah Mr Kasman Singodimedjo. Padahal, Kasman memiliki dimensi yang komplet untuk gelar penting tersebut.

Ada enam dimensi kepahlawanan yang pantas disematkan kepada Mr Kasman. Satu dimensi saja seharusnya sudah dapat membuat Mr Kasman mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dimensi pertama, menurut Yudi Latif, Mr Kasman ialah perintis lahirnya organisasi pelajar muslim di Indonesia melalui posisi pentingnya di Himpunan Pemuda Islam (Jong Islamieten Bond). Jong Islamieten Bond ialah ibu kandung organisasi Islam. Tanpanya, tidak ada PII (Pelajar Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan lain-lain.

Jika pendiri HMI Lafran Pane dinobatkan sebagai pahlawan, Kasman seharusnya juga sudah. Jong Islamieten Bond itu merupakan pembangun jembatan terbaik antara elite dan massa rakyat untuk lebih mudah mengomunikasikan nasionalisme.


Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Kedua, Mr Kasman ialah tokoh pendiri Tentara Nasional Indonesia. Terdaftar sebagai tentara Pembela Tanah Air (Peta), Mr Kasman menjabat daidanco atau komandan batalion wilayah Jakarta. Saat itu, Mr Kasman mengamankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Pak Kasman juga Ketua Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pak Kasman ialah komandan pertama. Itu sudah cukup jadi syarat pahlawan nasional.

Ketiga, Mr Kasman merupakan tokoh pendidikan Muhammadiyah yang juga berkiprah di Jamiatul Khair di wilayah Jakarta dan Bogor. Dalam kapasitas sebagai aktivis Muhammadiyah pada 1940, Mr Kasman pernah ditangkap karena memperjuangkan kemerdekaan. Pada berdirinya Universitas Islam Indonesia juga terdapat andil dari Mr Kasman.

Keempat, pada hari-hari genting, Mr Kasman diangkat sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kelima, Mr Kasman memegang jabatan penting instrumen negara, yaitu sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat yang kemudian berubah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, Mr Kasman juga menjabat jaksa agung kedua, juga menjadi pelopor berdirinya Mahkamah Militer.

Keenam, perjalanan aktivis politik dan perjalanan karier Mr Kasman bukanlah tipe bajing loncat. Mr Kasman mendirikan Partai Islam Indonesia dan pengurus teras Masyumi, serta dipercaya sebagai anggota Konstituante.

Peran lain dari jasa Mr Kasman Singodimedjo yang tidak tertulis ialah dalam membantu Republik Indonesia memenangi hak kedaulatan dari Sabang sampai Merauke pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag 1949. Atas permintaan Bung Karno, Mr Kasman yang merupakan sarjana hukum itu mempelajari hukum internasional guna menyiapkan data yuridis yang siap pakai bagi perwakilan Indonesia.

Dengan aspek kepahlawanan Pak Kasman yang panjang dan lebar itu, butuh waktu amat panjang untuk mengakuinya sebagai pahlawan nasional. Mr Kasman Singodimedjo baru dikukuhkan sebagai pahlawan nasional pada 10 November 2018. Perkara politik, lebih tepatnya 'cap identitas politik', membuat perlakuan negara terhadap seseorang untuk diakui, belum diakui, atau tidak diakui selalu menjadi perdebatan panjang, pro dan kontra.

Dengan merujuk pada 'enam dimensi' kepahlawan yang ditabalkan kepada Mr Kasman Singodimedjo, kiranya jelas tolok ukur negara untuk memberikan gelar pahlawan. Namun, bila selalu dibumbui politik dan identitas, apalagi bila bumbunya kental banget, gelar pahlawan jadi tak menarik bagi publik.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Sholahadhin Azhar)