Perayaan Waisak di Candi Borobudur. (via Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif)
Jakarta: Hari Raya Waisak merupakan salah satu perayaan terpenting bagi umat Buddha di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Waisak bukan sekadar hari libur keagamaan, melainkan momen reflektif untuk mengenang dan meneladani kehidupan serta ajaran Sang Buddha Gautama.
Dirayakan saat bulan purnama di bulan Waisak, hari suci ini menjadi simbol perjalanan spiritual dari kelahiran, pencerahan, hingga wafatnya Sang Buddha.
Di Indonesia, perayaan Waisak tidak hanya diwarnai puja bakti di vihara, tetapi juga prosesi suci di situs-situs bersejarah seperti Candi Borobudur. Tahun ini, Waisak jatuh pada Senin, 12 Mei 2025, dan kembali menjadi momentum penting bagi umat untuk memperdalam praktik Dhamma dan menyebarkan kebajikan.
Berikut makna-makna penting perayaan hari Waisak bagi umat Buddha.
Tiga Peristiwa Agung dalam Sejarah Buddha
Hari Raya Waisak atau Hari Raya Trisuci Waisak diperingati setiap tahun pada purnama di bulan Waisak dalam kalender Buddhis. Tahun ini, Waisak 2569 BE jatuh pada Senin, 12 Mei 2025. Kata “Waisak” berasal dari bahasa Sansekerta Vaisakha dan bahasa Pali Vesakha, yang menunjuk pada nama bulan dalam sistem kalender tersebut.
Melansir tulisan di laman Buddha Wacana Kemenag pada 22 Mei 2024, umat Buddha memperingati tiga peristiwa agung yang semuanya terjadi pada hari yang sama, yaitu: kelahiran Pangeran Siddharta Gautama di Taman Lumbini pada 623 SM; pencapaian Penerangan Sempurna oleh Sang Buddha di bawah pohon Bodhi pada 588 SM; dan wafatnya Sang Buddha (Maha Parinibbana) di Kusinara. Inilah yang menjadikan Waisak sebagai hari suci yang sarat makna spiritual.
Makna Pencerahan dan Kebajikan
Peringatan Waisak bukan sekadar bentuk penghormatan kepada Buddha, tetapi juga pengingat bagi umat untuk meneladani nilai-nilai kebajikan, semangat perjuangan, dan kesadaran. Amat, S.Ag., Penyuluh Agama Buddha Kemenag Deli Serdang, menjelaskan bahwa peristiwa pencerahan Siddharta Gautama harus menjadi inspirasi dan motivasi bagi umat Buddha agar senantiasa berbuat kebajikan dan melaksanakan dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
Peringatan Waisak juga mengandung makna reflektif. Sebagaimana dikutip dari Dhammapada XIX:296:
“
Mereka yang merenungkan kebajikan luhur Sang Buddha sepanjang siang dan malam, yang senantiasa sadar, adalah siswa-siswi Buddha Gotama.”
Melalui penghayatan ini, umat diajak untuk memahami bahwa kebahagiaan dan kedamaian dimulai dari kesadaran batin dan perjuangan untuk hidup sesuai Dhamma.
Tradisi Perayaan dan Teladan Luhur
Dalam menyambut Waisak, umat Buddha umumnya membersihkan vihara, berziarah ke makam leluhur dan pahlawan, serta melaksanakan puja bakti tepat pada detik-detik bulan purnama. Kegiatan seperti pentas seni dan lomba pun digelar untuk menambah semarak, namun esensi Waisak tetap pada pelaksanaan Dhamma.
Melalui kisah hidupnya, Buddha Gautama menunjukkan bahwa pencerahan tidak datang secara instan. Dalam kehidupan masa lalunya sebagai Petapa Sumedha pada zaman Buddha Dipankara, ia telah bertekad untuk menjadi seorang Buddha di masa depan. Setelah mencapai pencerahan, ia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menyebarkan Dhamma dan membentuk Sangha.
“Segala sesuatu tidak kekal adanya, berjuanglah dengan kewaspadaan,” demikian pesan Sang Buddha menjelang wafatnya dalam Maha Parinibbana Sutta. Pesan ini menjadi peneguhan bahwa perayaan Waisak bukanlah sekadar seremonial, melainkan momentum untuk memperkuat tekad menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran, welas asih, dan disiplin moral.
Hari Raya Waisak mengandung makna mendalam bagi umat Buddha, bukan hanya untuk mengenang Sang Buddha, tetapi juga untuk membangkitkan kesadaran spiritual dalam menjalani hidup. Dengan meneladani sifat luhur Buddha—ketekunan, keberanian, dan pengorbanan—umat diharapkan dapat menyebarkan kebajikan demi tercapainya kebahagiaan sejati bagi semua makhluk. Semoga semua makhluk berbahagia. Sadhu, Sadhu, Sadhu.