Ilustrasi. Foto: Medcom
Jakarta: Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan peringatan dini terkait kondisi cuaca ekstrem di Jawa Tengah (Jateng). Hal itu berpotensi memicu bencana hidrometeorologi.
Dwikorita menegaskan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah menghadapi puncak musim hujan. Periode tersebut diperkirakan berlangsung hingga Februari 2025.
“Hal ini membuat potensi bencana, seperti yang terjadi di Pekalongan, masih bisa terjadi. Oleh karena itu, langkah antisipasi terus kami tingkatkan,” kata Dwikorita saat dikutip dari Media Indonesia, Rabu, 29 Januari 2025.
Dwikorita menjelaskan intensitas curah hujan di Jateng dipengaruhi oleh kombinasi aktif beberapa fenomena atmosfer global. Seperti La Nina lemah, Monsun Asia, Madden-Julian Oscillation (MJO), serta gelombang ekuatorial Kelvin dan Rossby.
Kondisi itu diperkuat oleh fenomena astronomis, seperti fase bulan baru yang menciptakan potensi peningkatan curah hujan, angin kencang, hingga gelombang tinggi di wilayah pesisir. Kelembapan udara yang sangat basah serta aktivitas konvektif lokal turut memicu pembentukan awan hujan yang menjulang tinggi.
Semua faktor tersebut menjadi pemicu utama peningkatan risiko bencana seperti banjir, tanah longsor, banjir rob, dan angin kencang di sejumlah wilayah Jawa Tengah.
Dwikorita menekankan curah hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat akan terjadi di berbagai wilayah. Terutama di kawasan rawan bencana seperti Pekalongan, Batang, dan Boyolali. Di wilayah ini, ancaman tanah longsor dan banjir bandang menjadi perhatian utama.
Dwikorita menyampaikan Kabupaten Boyolali berada dalam kondisi kritis. Sebab, keberadaan jalur sungai di lereng Gunung Merbabu yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi.
Selain ancaman hujan ekstrem, BMKG mengidentifikasi potensi banjir rob yang dapat melanda kawasan pesisir utara dan selatan Jateng. Dwikorita menekankan upaya mitigasi bencana harus dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, TNI, Polri, hingga masyarakat.
Ia juga mengingatkan masyarakat agar lebih waspada terhadap tanda-tanda awal bencana, seperti retakan tanah, rembesan air dari lereng, atau pohon yang tiba-tiba miring. Jika tanda-tanda ini terdeteksi, masyarakat diimbau segera meninggalkan lokasi rawan dan melapor kepada pihak berwenang.
Di sisi lain, masyarakat yang berada di pesisir diminta untuk menghindari aktivitas di dekat pantai. Terutama, saat terjadi pasang tinggi atau gelombang besar.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan bahwa teknologi modifikasi cuaca (TMC) kemungkinan akan kembali diterapkan untuk mengurangi dampak curah hujan ekstrem di wilayah-wilayah tertentu. Sebelumnya, TMC telah berhasil dilaksanakan di beberapa daerah untuk mengendalikan intensitas hujan dan meminimalkan risiko banjir.
Selain itu, BMKG telah menyampaikan informasi detail mengenai wilayah yang berpotensi terdampak bencana, termasuk daftar kabupaten, kecamatan, dan desa yang berisiko. Informasi ini dapat diakses oleh masyarakat dan pemerintah daerah untuk mempermudah langkah antisipasi.
(Ihda Firdausya)