Presiden AS Donald Trump. (Anadolu Agency)
Vatikan: Selama 12 tahun kepemimpinannya, Paus Fransiskus memainkan peran penting dalam percaturan diplomatik global. Ia dikenal tidak hanya sebagai pemimpin rohani umat Katolik, tetapi juga sebagai suara moral dalam isu-isu seperti migrasi, lingkungan, dan perdamaian.
Pendekatannya yang tegas namun terbuka sering kali menimbulkan perbedaan pandangan dengan sejumlah pemimpin dunia, tanpa mengurangi rasa hormat terhadapnya.
Di Amerika Serikat (AS), Paus Fransiskus sempat berseberangan dengan Presiden Donald Trump terkait kebijakan imigrasi. Dalam kunjungan ke Meksiko tahun 2016, dikutip dari Al Jazeera, Selasa, 22 April 2025, ia menyatakan, “Seseorang yang hanya berpikir membangun tembk bukanlah orang Kristen.”
Namun, Trump tetap menyampaikan penghormatan dan berencana menghadiri pemakaman Paus Fransiskus. Di tanah kelahirannya, Argentina, hubungan Paus Fransiskus dengan Presiden Javier Milei semula tegang namun kemudian mencair. “Mengenal beliau dalam kebaikan dan kebijaksanaan adalah kehormatan sejati bagi saya,” ujar Milei.
Ketegangan isu global dan diplomasi moral
Kepedulian Paus terhadap lingkungan juga menimbulkan ketegangan, terutama dengan mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro, yang menanggapi dingin seruan Fransiskus soal perlindungan Amazon dan masyarakat adat.
Di kawasan Timur Tengah, Paus secara terbuka menyuarakan keprihatinan atas korban sipil di Gaza. Meskipun sikap ini menimbulkan ketegangan dengan pemerintah Israel, hubungan diplomatik tetap dijaga.
Dalam krisis Ukraina, Paus mendorong penyelesaian damai melalui negosiasi, yang sempat menuai salah pengertian di pihak Kyiv. Meski begitu, Presiden Volodymyr Zelensky tetap menyampaikan penghargaan, menyebut Paus sebagai “tokoh yang memberi harapan dan meringankan penderitaan.”
Sikap konsisten Fransiskus dalam mengedepankan dialog menjadikannya figur global yang dihormati lintas batas ideologi dan keyakinan.
Warisan rekonsiliasi dan penghormatan terakhir
Paus Fransiskus juga menunjukkan keberanian dalam merefleksikan sejarah kelam Gereja. Pada 2022, ia secara terbuka meminta maaf kepada masyarakat adat Kanada atas peran Gereja dalam sistem sekolah residensial. “Saya meminta maaf atas cara-cara yang turut menghancurkan budaya masyarakat asli,” ucapnya dalam sebuah kunjungan yang sarat makna rekonsiliasi.
Komitmennya untuk mendengar suara-suara yang terpinggirkan, termasuk komunitas Rohingya, memperkuat reputasinya sebagai pemimpin yang inklusif.
Kini, menjelang pemakamannya pada Sabtu, 26 April, banyak pemimpin dunia, termasuk yang pernah bersilang pendapat dengannya, dijadwalkan hadir di Vatikan. Kehadiran mereka menjadi penegas bahwa perbedaan pandangan tidak menghalangi rasa hormat terhadap sosok yang telah menjadi suara nurani dunia. (
Muhammad Adyatma Damardjati)
Baca juga:
Ribuan Pelayat Berkumpul di Vatikan, Beri Penghormatan Terakhir untuk Fransiskus