Paus Fransiskus di Tepi Barat, Palestina, 2014. (Abed Al Hashlamoun/EPA)
Riza Aslam Khaeron • 23 April 2025 10:55
Jakarta: Paus Fransiskus, yang wafat pada 21 April 2025, meninggalkan warisan yang kuat dalam upaya perdamaian global, termasuk dalam konflik Israel-Palestina yang semakin memburuk di Gaza. Ia dikenal sebagai salah satu pemimpin dunia yang paling konsisten menyuarakan penderitaan warga Palestina.
Bahkan ketika negara-negara besar menunjukkan sikap abai, Paus tidak ragu mengangkat suaranya untuk mendesak perdamaian dan keadilan. Berikut jasa-jasa beliau terhadap tercapainya perdamaian di Gaza.
Seruan Kemanusiaan di Ujung Hayat
Dalam pidato terakhirnya saat Misa Paskah di Lapangan Santo Petrus pada Minggu, 20 April 2025, Paus menyampaikan seruan yang sangat jelas terhadap kekerasan yang terjadi di Gaza.
"Saya memikirkan rakyat Gaza, khususnya komunitas Kristiani di sana, yang terus menghadapi kematian dan kehancuran akibat konflik yang mengerikan," ujar Paus Fransiskus, Vatikan, Minggu, 20 April 2025, dikutip dari Al Jazeera, Senin, 21 April 2025.
"Situasi kemanusiaan di Gaza sangat dramatik dan menyedihkan. Gencatan senjata harus diberlakukan, para sandera dibebaskan, dan bantuan dikirimkan untuk rakyat yang kelaparan dan mendambakan masa depan damai," ujar Paus Fransiskus, Vatikan, Minggu, 20 April 2025, dikutip dari Al Jazeera, Senin, 21 April 2025.
Dalam pernyataan tersebut, Paus secara moral menolak pembiaran atas penderitaan warga Gaza, termasuk aksi kelaparan massal akibat penghentian bantuan oleh Israel sejak Maret 2025. Seruannya keluar ketika dunia cenderung diam.
Bahkan dalam rentang 18 Maret hingga 9 April, PBB melaporkan bahwa semua korban dari 36 serangan udara Israel adalah perempuan dan anak-anak.
Pada hari terakhir hidupnya, Paus juga menerima kunjungan Wakil Presiden AS JD Vance, setelah sebelumnya mengkritik keras kebijakan deportasi massal Presiden Donald Trump. Ia menyebut kebijakan itu sebagai "krisis besar yang merendahkan martabat manusia," ujar Paus Fransiskus, Vatikan, dikutip dari Al Jazeera, Senin, 21 April 2025.
Umat Katolik Gaza: Kami Sekarang Anak Yatim
Bagi komunitas Katolik di Gaza, kematian Paus Fransiskus bukan hanya kehilangan pemimpin agama, tetapi juga sosok ayah dan sahabat. Selama 18 bulan masa perang, Paus secara rutin menelepon umat Katolik yang berlindung di Gereja Keluarga Kudus di Kota Gaza. Ia menyapa mereka dalam bahasa Arab, menanyakan kondisi harian mereka, bahkan apa yang mereka makan.
“Dia biasa menelepon kami setiap hari selama perang, pada hari-hari tergelap di tengah pemboman,” ujar Pastor Gabriel Romanelli, dikutip dari BBC, Gaza, 22 April 2025.
George Anton, salah satu jemaat yang kehilangan rumah dan keluarganya, mengatakan bahwa Paus memberkati mereka, memahami penderitaan mereka, dan terus memberi semangat.
“Kami merasa seperti yatim piatu sekarang. Tidak ada lagi panggilan dari Paus. Kami tidak akan mendengar suaranya, atau candaannya,” ujar Anton.
Bagi umat Kristiani Gaza yang jumlahnya hanya beberapa ratus orang di tengah populasi dua juta penduduk mayoritas Muslim, kehadiran dan perhatian pribadi Paus Fransiskus adalah sumber penghiburan yang tak tergantikan. Kini mereka berharap suara dan warisan Paus tetap hidup melalui penerusnya.
Desakan Investigasi Dugaan Genosida di Gaza
Selain pesan moral dan pastoral, Paus Fransiskus juga memberikan dorongan tegas agar dunia menyelidiki apakah kekejaman yang terjadi di Gaza telah memenuhi unsur-unsur genosida oleh Israel.
"Menurut beberapa ahli, apa yang terjadi di Gaza memiliki karakteristik genosida. Hal ini harus diselidiki secara hati-hati untuk menentukan apakah sesuai dengan definisi teknis yang dirumuskan oleh para ahli hukum dan badan internasional," tulis Paus Fransiskus dalam buku Harapan Tak Pernah Mengecewakan: Peziarah Menuju Dunia yang Lebih Baik, dikutip dari Vatican News, Vatikan, 17 November 2024.
Dalam buku itu pula, Paus kembali menekankan pentingnya menghormati martabat manusia, serta mengapresiasi negara-negara seperti Yordania dan Lebanon yang membuka pintu bagi para pengungsi Palestina. Ia menyebut kelaparan di Gaza sebagai konsekuensi dari sulitnya bantuan dan pangan masuk ke wilayah tersebut.
Dengan pernyataan tersebut, Paus Fransiskus tidak hanya menyerukan penghentian kekerasan, tetapi juga menyerukan pertanggungjawaban hukum internasional terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan.