Perluasan Jabatan Sipil bagi Prajurit Aktif Menuai Pro dan Kontra

Ilustrasi hukum/Medcom.id

Perluasan Jabatan Sipil bagi Prajurit Aktif Menuai Pro dan Kontra

M Rodhi Aulia • 15 March 2025 08:21

Jakarta: Wacana perluasan peran prajurit aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam jabatan sipil kembali mencuat seiring dengan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) TNI di Komisi I DPR. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengusulkan agar jumlah kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif bertambah dari 10 menjadi 15 institusi.

Pernyataan tersebut memicu pro dan kontra di berbagai kalangan. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi kembalinya dominasi militer dalam urusan sipil, sebagaimana yang terjadi di era Orde Baru. Pengamat hukum pidana, Franciscus Lamintang, menilai bahwa revisi UU TNI ini berisiko menciptakan kembali sistem birokrasi yang didominasi militer.

“Wacana ini membuat masyarakat khawatir akan kembalinya sistem Orde Baru, di mana TNI masuk ke dalam urusan sipil. Apa bedanya dengan dulu saat ada Fraksi ABRI? Selain itu, apa urgensinya revisi UU TNI?” ujar Franciscus dalam keterangannya yang dikutip, Sabtu, 15 Maret 2025.

Baca juga: Ketua Komisi I DPR Beri Sinyal Revisi UU TNI Beres sebelum Lebaran 2025

Sebagai catatan, Fraksi ABRI merupakan perwakilan militer dalam parlemen pada era Orde Baru yang dihapus setelah reformasi dan Pemilu 2004. Franciscus menegaskan bahwa jika revisi UU TNI benar-benar dilakukan, pemerintah seharusnya lebih dulu membahas mekanisme penegakan hukum bagi anggota TNI yang terlibat dalam pelanggaran hukum.

"Jangan sampai TNI kembali seperti di era Orde Baru. Lebih baik dilakukan pembenahan dan introspeksi, bukan justru memperkuat dominasi TNI yang bisa membuat masyarakat merasa tidak nyaman," tegasnya.

Dalam pembahasan revisi tersebut, Sjafrie menyebut bahwa lima institusi tambahan yang diajukan meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung. Dengan revisi ini, prajurit aktif bisa menjabat di 15 kementerian/lembaga tanpa harus mengundurkan diri dari dinas keprajuritan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut meminta pemerintah dan DPR mengkaji ulang perluasan kewenangan TNI dalam jabatan sipil. Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P Siagian, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan kajian cepat atas revisi UU TNI dan RUU Kepolisian.

"Kami mengusulkan revisi terhadap delapan pasal dalam RUU Kepolisian dan lima pasal dalam RUU TNI," ungkap Saurlin, Jumat, 14 Maret 2025.

Komnas HAM menilai bahwa ada sejumlah pasal yang sebaiknya diperbaiki atau dihapus karena kurang selaras dengan semangat pemajuan hak asasi manusia. Namun, lembaga ini tetap mendukung upaya peningkatan kesejahteraan bagi anggota TNI dan Polri.

Sementara itu, pembahasan revisi UU TNI di DPR terus bergulir. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa penyelesaian revisi ini akan bergantung pada dinamika di Komisi I DPR.

"Bisa cepat, bisa lambat, tergantung dinamika pembahasan," ujar Dasco di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat, 14 Maret 2025.

Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, menegaskan bahwa pihaknya berupaya menyelesaikan revisi UU TNI sebelum masa reses DPR pada 21 Maret 2025.

"Kalau kita bisa selesai lebih cepat, kenapa harus ditunda?" ujar Utut saat ditemui di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Jumat, 14 Maret 2025.

Pembahasan revisi UU TNI berlangsung dalam rapat panitia kerja (panja) bersama pemerintah yang digelar secara tertutup pada 14-16 Maret 2025 di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat. Keputusan akhir terkait revisi ini masih menunggu kesepakatan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Rodhi Aulia)