Vladimir Putin, Donald Trump, Xi Jinping. (EPA-EFE/Yuri Kochetkov)
Riza Aslam Khaeron • 4 March 2025 14:30
Jakarta: Setelah Amerika Serikat (AS) resmi mengumumkan penghentian bantuan untuk Ukraina dan perseturuan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky dan Presiden AS Donald Trump di kantor Oval, muncul analisis terbaru yang melihat adanya perubahan strategi geopolitik Amerika Serikat.
Pemerintahan Donald Trump dilihat sedang mengalihkan fokus dari perang di Ukraina untuk mencoba menjadikan Rusia sebagai sekutu dalam menghadapi Tiongkok. Langkah ini disebut-sebut sebagai strategi "divide and conquer" terbalik yang mirip dengan kebijakan Richard Nixon dan Henry Kissinger pada 1970-an. Berikut penjelasannya.
Pergeseran Kebijakan AS terhadap Rusia
Melansir Council on Foreign Relations (CFR) pada Selasa, 4 Maret 2025, Trump dan pemerintahannya telah memperkenalkan strategi geopolitik baru yang secara radikal mengubah hubungan AS dengan Rusia.
"Gedung Putih tampaknya berbalik dari sekutu tradisional Eropa dan semakin mendekatkan diri ke Rusia di bawah kepemimpinan Vladimir Putin," tulis Joshua Kurlantzick dalam analisisnya di CFR. Langkah ini, menurut Kurlantzick, bertujuan untuk membangun kerja sama dengan Rusia guna mengisolasi Tiongkok dari jaringan ekonomi dan diplomatik global.
"Jika Kissinger dan Nixon dulu merangkul Tiongkok untuk melawan Uni Soviet, kini pemerintahan Trump tampaknya ingin melakukan kebalikannya dengan menjadikan Rusia sebagai sekutu untuk menghadapi Tiongkok," tambahnya.
Mengutip Geopolitical Economy Report pada Senin, 24 Februari 2025, Analis Ben Norton menjelaskan bahwa Trump secara terbuka mengakui ingin "memisahkan" Rusia dan Tiongkok. Dia menilai bahwa kesalahan besar telah dilakukan ketika AS justru mendorong kedua negara ini untuk semakin erat bersekutu.
"Saya harus memisahkan mereka, dan saya pikir saya bisa melakukannya," kata Trump dalam sebuah wawancara dengan Tucker Carlson pada 31 Oktober 2024.Strategi ini disebut-sebut sebagai kebalikan dari pendekatan yang diterapkan oleh Henry Kissinger pada era Perang Dingin.
Namun, pergeseran ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitasnya.
"China dan Rusia telah membangun hubungan ekonomi dan strategis yang erat, termasuk dalam upaya mengurangi dominasi dolar sebagai mata uang cadangan dunia serta mendukung jaringan negara-negara otoriter yang semakin berkembang," lanjut Kurlantzick. Contoh nyata dari hubungan kedua negara ini adalah BRICS, yang telah lama disebut bertujuan melawan dominasi dolar AS.
Dalam konteks ini, menarik Rusia dari orbit Tiongkok bukanlah tugas yang mudah, terutama mengingat bahwa Beijing dan Moskow telah menjalin kemitraan yang kuat dalam bidang militer, energi, dan teknologi.
Strategi Trump: Memecah Aliansi Rusia-Tiongkok
Mengutip Geopolitical Monitor pada Selasa, 4 Maret 2025, strategi Trump terhadap Rusia bertujuan untuk memecah aliansi strategis Rusia-Tiongkok dengan menawarkan insentif diplomatik dan ekonomi kepada Moskow.
"Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kemitraan Rusia-Tiongkok merupakan ancaman terbesar bagi dominasi AS di dunia," tulis Dr. Hasim Turker dalam analisisnya.
Menurut Turker, AS berupaya melemahkan ketergantungan Rusia terhadap Tiongkok dengan menawarkan keringanan sanksi dan membuka peluang kerja sama ekonomi. "Namun, pendekatan ini memiliki risiko besar, karena bisa memperkuat posisi Rusia di Eropa Timur, terutama jika Moskow melihat kebijakan ini sebagai kelemahan Barat," tulisnya.
Sebagai bagian dari strategi ini, Trump telah menunjukkan keengganannya untuk terus mendukung Ukraina dalam perang melawan Rusia. Keputusan ini semakin memperjelas arah kebijakan AS, yang kini lebih berfokus pada persaingan dengan Tiongkok dibandingkan dengan konfrontasi langsung dengan Rusia.
Norton dari Geopolitical Economy Report lebih lanjut menjelaskan bahwa pemerintahan Trump berusaha mengakhiri perang di Ukraina bukan karena faktor kemanusiaan, tetapi karena semakin banyak sumber daya AS tersedot ke konflik tersebut, yang justru menguntungkan Tiongkok.
"Tiongkok melihat manfaat besar dalam perang di Ukraina, karena semakin banyak waktu dan uang yang dihabiskan AS di sana, semakin sedikit perhatian yang bisa mereka berikan ke Tiongkok," ungkap Norton mengutip pernyataan Rubio dalam sidang Senat 2024.
Dampak terhadap NATO dan Sekutu Eropa
Langkah AS yang menarik diri dari Ukraina menimbulkan kekhawatiran di antara sekutu NATO.
"Kebijakan ini dapat mendorong Rusia untuk semakin memperluas pengaruhnya di Eropa Timur, sementara negara-negara Eropa akan kehilangan kepercayaan terhadap komitmen pertahanan AS," tulis laporan CFR. Dengan AS yang kini lebih fokus pada Indo-Pasifik, para pemimpin Eropa dihadapkan pada tantangan untuk memperkuat pertahanan mereka sendiri tanpa bergantung sepenuhnya pada Washington.
Beberapa analis juga memperingatkan bahwa mendekati Rusia tanpa memperhitungkan sekutu Eropa dapat merusak stabilitas transatlantik.
"Jika Washington memutuskan untuk bernegosiasi langsung dengan Moskow tanpa melibatkan Eropa, maka negara-negara seperti Jerman dan Prancis mungkin akan mencari jalur alternatif dalam kebijakan luar negerinya," ungkap Turker di Geopolitical Monitor.
Langkah AS untuk meninggalkan Ukraina dan mendekati Rusia sebagai sekutu dalam menghadapi Tiongkok merupakan strategi yang kontroversial. Meskipun secara teori pendekatan ini dapat mengisolasi Beijing, eksekusinya penuh dengan risiko, terutama mengingat kedekatan Rusia-Tiongkok yang telah terjalin selama bertahun-tahun.
Selain itu, kebijakan ini dapat melemahkan kepercayaan sekutu NATO terhadap AS dan membuka peluang bagi Rusia untuk memperluas pengaruhnya di Eropa Timur. Dengan demikian, efektivitas strategi ini dalam jangka panjang masih menjadi tanda tanya besar.