Ilustrasi. Foto: Dok MI
Insi Nantika Jelita • 10 August 2025 09:47
Jakarta: Ketua Umum Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menegaskan situasi ekonomi tidak bisa digeneralisasi. Ini menanggapi data Badan Pusat Statistik mengenai pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang menuai kritik sejumlah pihak karena dinilai tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.
Menurutnya, kinerja ritel bervariasi. Misalnya, penjualan toko skincare seperti Watson dan sektor restoran menunjukkan tren positif. Namun, kategori department store seperti Deepstore, Matahari, Sogo, dan Metro mengalami penurunan. Penjualan ritel pakaian juga turun sekitar 10 persen sepanjang tahun ini.
Sebaliknya, segmen F&B (makanan dan minuman) relatif stabil dengan sedikit kenaikan, sementara kategori perlengkapan olahraga mencatat pertumbuhan sekitar 10 persen.
“Jadi, tidak bisa dipukul rata. Ada yang tumbuh, ada yang turun pertumbuhan ritel itu," ujar Budihardjo di Jakarta, dikutip Minggu, 10 Agustus 2024.
(Ilustrasi. Foto: Dok MI)
Masyarakat menahan pembelian
Ia menjelaskan perlambatan ekonomi saat ini dipengaruhi oleh turunnya indeks kepercayaan konsumen. Situasi global yang tidak kondusif dan ketidakpastian ekonomi membuat masyarakat cenderung menahan pembelian.
Fenomena rojali atau rombongan jarang beli dan rohana atau rombongan hanya nanya masih marak terlihat di pusat perbelanjaan. Banyak pengunjung ke mal hanya untuk jalan-jalan atau makan-minum tanpa berbelanja.
"Hal ini karena ada perubahan sikap konsumen yang menahan belanja. Mereka lebih memilih belanja online," kata Budihardjo.
Untuk mengatasi hal tersebut, Hippindo bersama pemerintah menggencarkan program Belanja di Indonesia Saja. Kemudian, berbagai promo di pusat perbelanjaan dan usulan penurunan tarif tiket pesawat pada momen libur panjang.
"Ini supaya turis dan masyarakat lokal berbondong-bondong belanja di Indonesia. Paling tidak, bisa menahan orang untuk tidak belanja di luar negeri,” jelasnya.
Tidak sesuai realita di lapangan
Sebelumnya, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi menuding angka pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS tidak tidak berdasarkan realita di lapangan. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga pertengahan tahun 2025 mencapai 5,12 persen.
Di atas kertas, kata Tulus, capaian ini terlihat menggembirakan dan seolah menjadi sinyal positif bagi perekonomian nasional. Namun, angka tersebut justru melampaui berbagai estimasi dari banyak pemangku kepentingan di sektor ekonomi, yang sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,5 persen.
“Dari sisi pelaku ekonomi dan masyarakat konsumen, angka pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS tersebut sungguh tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat,” tegas Tulus dalam keterangan yang diterima
Media Indonesia, Rabu, 6 Agustus 2025.
Ia menyoroti daya beli masyarakat saat ini justru tengah mengalami tekanan yang sangat dalam. Fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan pelemahan konsumsi rumah tangga yang signifikan, yang seharusnya menjadi indikator utama dalam menilai pertumbuhan ekonomi nasional. Para pelaku usaha juga merasakan kelesuan ekonomi, tercermin dari penurunan transaksi di pusat-pusat perbelanjaan.