Ilustrasi. Foto: Freepik.
Jakarta: Ancaman tarif yang dilontarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya menjadi kenyataan, menjerumuskan negara itu ke dalam perang dagang global yang semakin panas. Sejak dilantik, Trump telah gencar menerapkan kebijakan tarif yang agresif, khususnya terhadap Tiongkok, Kanada, dan Meksiko.
Langkah ini dipicu oleh keinginan Trump untuk melindungi industri dalam negeri dan meringankan defisit perdagangan AS. Namun, kebijakan ini telah memicu protes keras dari berbagai negara yang merasa dirugikan.
Kronologi perang dagang
Perang dagang ini dimulai sejak Januari 2025, ketika Trump mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif 25 persen pada impor dari Kanada dan Meksiko, serta 10 persen pada impor dari Tiongkok. Ketiga negara tersebut dengan tegas menentang kebijakan ini dan mengancam akan melakukan tindakan pembalasan.
Ketegangan semakin memanas ketika Trump meningkatkan tarif terhadap Tiongkok menjadi 20 persen, dan bahkan mengancam untuk mengenakan tarif 25 persen pada impor mobil. Tiongkok pun membalas dengan tarif pembalasannya sendiri, yang berdampak pada produk pertanian AS.
(Presiden AS Donald Trump. Foto: Anadolu)
Tarif timbal balik produk impor
Pada April 2025, Trump menerapkan tarif "timbal balik" dengan menaikkan pajak impor untuk lusinan negara yang memiliki surplus perdagangan dengan AS. Meskipun sempat menunda beberapa tarif, Trump tetap mempertahankan pajak 10 persen untuk hampir semua impor global.
Uni Eropa juga tak luput dari kebijakan proteksionis Trump. Sebagai balasan atas tarif baja dan aluminium yang dikenakan oleh AS, Uni Eropa mengancam untuk mengenakan tarif terhadap produk AS.
Perang dagang ini diprediksi akan menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian global, termasuk meningkatnya harga barang, gangguan rantai pasokan, dan ketidakpastian bisnis. Para ekonom memperingatkan eskalasi konflik ini dapat berujung pada resesi global.
Meskipun terdapat upaya untuk meredakan ketegangan, perang dagang antara AS dan negara-negara lain tampaknya akan terus berlanjut. Bagaimana akhir dari konflik ini masih menjadi tanda tanya. (
Laura Oktaviani Sibarani)