Pasukan Israel saat melakukan penggerebekan ke bangunan yang mereka sebut markas Hamas. Foto: EFE-EPA
Yerusalem: Chaim Otmazgin mengurus puluhan mayat yang ditembak, terbakar, atau termutilasi sebelum dia mencapai rumah yang akan menempatkannya di pusat bentrokan global antara Palestina dan Israel.
Saat bekerja di kibbutz yang dilanda serangan Hamas pada 7 Oktober, Otmazgin –,seorang komandan relawan ZAKA, sebuah organisasi pencarian dan penyelamatan Israel,– melihat mayat seorang remaja, ditembak mati dan dipisahkan dari keluarganya di ruangan yang berbeda. Celananya telah ditarik ke bawah pinggangnya. Dia mengira itu adalah bukti kekerasan seksual.
Dia memberi tahu jurnalis tentang apa yang dilihatnya. Dia sambil menangis menceritakan rinciannya dalam pidatonya yang disiarkan secara nasional di Parlemen Israel. Dalam jam-jam, hari-hari dan minggu-minggu setelah serangan Hamas, kesaksiannya tersebar ke seluruh dunia.
Namun ternyata apa yang dikira Otmazgin terjadi di rumah kibbutz tidak terjadi.
Selain sejumlah kekejaman yang terdokumentasi dengan baik yang dilakukan oleh pejuang Hamas pada 7 Oktober, beberapa laporan pada hari itu, seperti yang disampaikan Otmazgin, terbukti tidak benar.
“Bukannya saya mengarang cerita,” kata Otmazgin kepada The Associated Press dalam sebuah wawancara, merinci asal mula klaim awalnya yang meledak-ledak – satu dari dua klaim yang dibuat oleh relawan ZAKA tentang kekerasan seksual yang ternyata tidak berdasar.
“Saya tidak bisa memikirkan pilihan lain selain remaja tersebut telah mengalami pelecehan seksual. Pada akhirnya ternyata berbeda, jadi saya koreksi sendiri,” tegas Otmazgin, dikutip dari Associated Press, Jumat 24 Mei 2024
Sudah terlambat
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi lain telah memberikan bukti yang dapat dipercaya bahwa militan Hamas melakukan kekerasan seksual saat mereka mengamuk. Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional, Karim Khan, mengatakan pada Senin bahwa ia memiliki alasan untuk percaya bahwa tiga pemimpin utama Hamas bertanggung jawab atas “pemerkosaan dan tindakan kekerasan seksual lainnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Meskipun jumlah penyerangan tidak jelas, foto dan video setelah serangan tersebut menunjukkan mayat-mayat dengan kaki terbuka, pakaian robek, dan darah di dekat alat kelamin mereka.
Namun, akun-akun yang terbantahkan seperti yang dimiliki Otmazgin telah mendorong skeptisisme dan memicu perdebatan sengit tentang ruang lingkup apa yang terjadi pada 7 Oktober. Ini menjadi sebuah perdebatan yang masih terjadi di media sosial dan protes di kampus.
Beberapa orang menuduh bahwa laporan pelecehan seksual sengaja dibuat. Pejabat ZAKA dan pihak lain membantah hal itu. Terlepas dari itu, penelitian AP terhadap penanganan ZAKA terhadap berita-berita yang kini terbantahkan menunjukkan bagaimana informasi dapat dikaburkan dan diputarbalikkan dalam kekacauan konflik.
Sebagai orang pertama yang berada di lokasi kejadian, relawan ZAKA memberikan kesaksian tentang apa yang mereka lihat hari itu. Kata-kata tersebut telah membantu para jurnalis, anggota parlemen Israel, dan penyelidik PBB untuk memberikan gambaran tentang apa yang terjadi selama serangan Hamas.
ZAKA adalah sebuah kelompok berbasis relawan, tidak melakukan pekerjaan forensik. Organisasi ini telah bertugas di lokasi bencana dan lokasi serangan Israel sejak didirikan pada tahun 1995. Tugas khusus mereka adalah mengumpulkan jenazah sesuai dengan hukum Yahudi.
Namun, ZAKA membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyadari bahwa tuduhan kekerasan seksual tersebut salah, sehingga akhirnya tersebut dapat berkembang biak. Dan dampak dari laporan-laporan yang dibantah tersebut menunjukkan bagaimana topik kekerasan seksual telah digunakan untuk agenda politik lebih lanjut.
Israel merujuk pada kekerasan seksual pada 7 Oktober untuk menyoroti apa yang dikatakannya sebagai kebiadaban Hamas dan untuk membenarkan tujuan mereka di masa perang untuk menetralisir ancaman berulang yang datang dari Gaza. Mereka menuduh komunitas internasional mengabaikan atau meremehkan bukti klaim kekerasan seksual, dan menuduh adanya bias anti-Israel. Dikatakan bahwa setiap cerita yang tidak benar adalah sebuah anomali dibandingkan dengan banyak kekejaman yang terdokumentasikan.
Pada gilirannya, beberapa pengkritik Israel memanfaatkan akun ZAKA, dan juga akun-akun lain yang terbukti tidak benar, untuk menuduh bahwa pemerintah Israel telah memutarbalikkan fakta untuk melancarkan perang – perang yang telah menewaskan lebih dari 35.000 warga Palestina, banyak diantaranya mereka perempuan dan anak-anak, menurut pejabat kesehatan
Gaza.
Tim pencari fakta PBB menemukan “alasan yang masuk akal” untuk meyakini bahwa beberapa dari mereka yang menyerbu Israel selatan pada 7 Oktober telah melakukan kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan dan pemerkosaan berkelompok.
Namun para penyelidik PBB juga mengatakan bahwa tanpa adanya bukti forensik dan kesaksian para penyintas, mustahil untuk menentukan cakupan kekerasan tersebut. Hamas membantah pasukannya melakukan kekerasan seksual.