Penyeragaman Kemasan Rokok Bikin Industri Tembakau Tertekan

Ilustrasi. Foto: Dok Metrotvnews.com

Penyeragaman Kemasan Rokok Bikin Industri Tembakau Tertekan

Eko Nordiansyah • 27 February 2025 16:47

Jakarta: Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menyusun aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Kebijakan ini dinilai telah memicu polemik bagi industri hasil tembakau (IHT).

Aturan plain packaging berencana mengatur desain kemasan rokok secara seragam, termasuk ukuran, jenis huruf, warna, dan letak penulisan merek serta identitas produsen. Bahkan, jenis tulisan diharuskan menggunakan font yang disamakan dengan kode warna Pantone 448C.

"Rencana aturan plain packaging ini akan menghilangkan semua bentuk identitas produk. Ciri, warna, atau logo akan tampak sama semua," kata Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 27 Februari 2025.

Menurut Benny, aturan yang sedang digodok Kemenkes ini justru merujuk pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang digunakan banyak negara non-produsen dalam membuat regulasi kebijakan produk tembakau. Padahal, Indonesia tidak meratifikasi perjanjian internasional tersebut.

"Penyeragaman kemasan rokok ini sebenarnya diperkirakan Kemenkes melihat (mengacu pada) FCTC yang tidak diratifikasi pemerintah Indonesia, maka ini tidak punya dasar," tegasnya.

Benny melanjutkan, sesuai dengan Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013, produk tembakau adalah produk legal di Indonesia. Namun, pengaturan penyeragaman kemasan rokok ini justru membuat produk tembakau tidak memiliki hak untuk berpromosi dan diiklankan, seperti produk ilegal.
 

Baca juga: 

Masuk Masa Tanam, Petani Tembakau Minta Perlindungan Pemerintah


(Ilustrasi rokok. Foto: Dok Metrotvnews.com)


Kebijakan tersebut dinilai sebagai upaya menghilangkan identitas merek sekaligus merusak hak konsumen. Kebijakan ini juga kemungkinan melanggar aturan yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

"Kebijakan ini akan merampas produsen atas merek dagangnya, hak cipta yang menjadi bagian dari kemasan tersebut, serta reputasi baik yang telah dibangun oleh produsen dan merek dagangnya selama puluhan tahun," katanya.

Benny mengatakan, aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga merusak kemampuan produsen untuk berkomunikasi dengan konsumen dewasa. Ketidakmampuan menggunakan merek secara penuh akan menyulitkan industri untuk membedakan antara produk yang dijual ke konsumen.

Peredaran rokok ilegal meningkat

Selain itu, ia menilai bahwa masalah lain yang membesar akibat penerapan plain packaging adalah peningkatan peredaran rokok ilegal. Dengan kemasan yang seragam, tidak ada pembeda antara rokok legal dan ilegal, karena hilangnya identitas merek sehingga memberikan dampak kepada para pekerja, petani tembakau, peritel, dan industri kreatif.

"Kebijakan ini merupakan kesempatan bagi para pelaku rokok ilegal, karena dengan adanya standarisasi (penyeragaman) warna, bentuk, dan jenis huruf yang ditentukan, akan sangat mudah bagi produsen ilegal membuat tiruan dari merek rokok legal," imbuhnya.

Lebih lanjut, Benny mengingatkan bahwa maraknya rokok ilegal bukan saja merugikan industri tembakau, tetapi juga penerimaan negara. Pada tahun 2024, penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp216,9 triliun atau setara 72 persen dari total penerimaan kepabeanan dan cukai.

"Ketidakmampuan menggunakan merek secara penuh akan menyulitkan industri untuk membedakan produknya dari yang lain ke konsumen. Akibatnya, akan sangat sulit bagi produk baru maupun pelaku industri yang lebih kecil atau menengah untuk memperkenalkan produknya, sehingga sulit untuk bisa bersaing," ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)