Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Foto:Anadolu
Kyiv: Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menegaskan bahwa proposal kontroversial pemerintahan Donald Trump yang meminta keuntungan sebesar USD500 miliar atau sekitar Rp8 triliun dari eksploitasi mineral langka Ukraina sebagai kompensasi atas bantuan perang Amerika Serikat telah dicabut dari pembahasan. Meski demikian, Ukraina tetap terbuka untuk merumuskan kesepakatan yang lebih adil.
Sebelumnya, Zelensky menolak rancangan kesepakatan dari AS terkait eksploitasi sumber daya berharga seperti litium—mineral yang krusial bagi industri kedirgantaraan, pertahanan, dan nuklir karena tidak menyertakan jaminan keamanan serta menuntut pembayaran sebesar USD500 miliar.
Kesepakatan baru tanpa klaim utang
“Permintaan USD500 miliar tidak lagi menjadi bagian dari kesepakatan,” ujar Zelensky dalam konferensi pers di Kyiv yang menandai tiga tahun invasi penuh Rusia ke Ukraina, seperti dilansir dari
TIME, Senin 24 Februari 2025.
Zelensky menegaskan bahwa memperlakukan bantuan sebagai utang yang harus dibayar kembali akan menjadi “kotak Pandora” yang berpotensi menciptakan preseden bagi Ukraina untuk mengembalikan seluruh bantuan dari mitra-mitranya.
“Kami tidak mengakui adanya utang. Itu tidak akan menjadi bagian dari format akhir kesepakatan,” tegas Zelensky.
Meskipun rincian lebih lanjut mengenai negosiasi belum diungkapkan, Ukraina tetap menekankan perlunya jaminan keamanan guna menghalau potensi agresi
Rusia di masa depan.
Utusan khusus Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, mengatakan dalam program
State of the Union di CNN bahwa ia memperkirakan kesepakatan akan dicapai pekan ini, memungkinkan AS memainkan peran lebih besar dalam eksploitasi mineral Ukraina.
Sementara itu, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menekankan bahwa rencana kerja sama mineral ini bertujuan membangun kemitraan antara AS dan Ukraina, menyebutnya sebagai solusi “win-win.”
“Kami mendapatkan keuntungan jika rakyat Ukraina juga mendapatkan keuntungan,” kata Bessent dalam program
Sunday Morning Futures di Fox News.
Zelensky juga mengonfirmasi bahwa Kepala Staf Kepresidenan Ukraina, Andrii Yermak, dan Menteri Ekonomi Yuliia Svyrydenko telah meninggalkan forum di Kyiv lebih awal untuk mengadakan pembicaraan dengan pejabat AS terkait kesepakatan tersebut.
Yermak kemudian mengunggah pernyataan di media sosial yang menyebut bahwa diskusinya dengan pejabat AS, termasuk Bessent dan Penasihat Keamanan Nasional Trump, Mike Walz, berlangsung “konstruktif.”
“Kami sedang membuat kemajuan,” tulis Yermak. “AS adalah mitra kami, dan kami berterima kasih kepada rakyat Amerika.”
Zelensky siap lepas jabatan demi keanggotaan NATO
Menanggapi pertanyaan wartawan apakah ia bersedia mundur dari jabatan presiden demi perdamaian di Ukraina, Zelensky menyatakan kesiapannya jika itu dapat mengakhiri perang secara berkelanjutan di bawah perlindungan NATO.
“Jika untuk mencapai perdamaian saya benar-benar harus mundur, saya siap. Saya bisa menukarnya dengan keanggotaan NATO,” ujar Zelensky.
Pernyataan tersebut tampaknya merespons usulan dari Presiden Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin agar Ukraina tetap menggelar pemilu, meskipun undang-undang Ukraina melarang pemilu selama darurat militer masih berlaku.
Kekhawatiran Ukraina atas pergeseran kebijakan Trump terhadap Rusia
Trump belakangan ini menunjukkan pendekatan baru dalam hubungan dengan Rusia, termasuk membuka kembali hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Moskow. Kebijakan tersebut telah menimbulkan kekhawatiran di Ukraina serta di kalangan pemimpin Eropa.
Zelensky menyatakan ketakutannya bahwa dorongan Trump untuk menyelesaikan perang dengan cepat bisa berujung pada hilangnya wilayah Ukraina dan meningkatkan kerentanan terhadap agresi Rusia di masa depan. Namun, pejabat AS menegaskan bahwa Zelensky tetap akan terlibat dalam setiap perundingan damai yang mungkin terjadi.
Trump memicu kontroversi di Ukraina minggu ini ketika ia menyatakan bahwa Kyiv yang memulai perang serta menyebut Zelensky sebagai “diktator” karena menunda pemilu.
Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, mengatakan kepada kantor berita TASS bahwa perundingan bilateral antara Rusia dan AS akan dilanjutkan pekan depan. Ia menambahkan bahwa terdapat banyak komunikasi yang sedang berlangsung antara kedua negara.
Pemimpin Eropa siapkan respons terhadap perubahan kebijakan AS
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan pejabat tinggi Uni Eropa lainnya dijadwalkan bertolak ke Kyiv pada Senin untuk berdiskusi dengan pemerintah Ukraina, dalam upaya menyusun respons terhadap perubahan kebijakan AS di bawah Trump dan mempertahankan dukungan bagi Ukraina jika bantuan dari Washington terhenti.
Pemerintah Inggris juga akan mengumumkan sanksi baru terhadap Rusia pada hari yang sama. Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, menyatakan bahwa paket sanksi tersebut akan menjadi yang terbesar sejak awal perang, dengan tujuan melemahkan kekuatan militer Rusia dan membatasi pendapatan yang digunakan Moskow untuk mendanai perang di Ukraina.
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dan Presiden Prancis Emmanuel Macron dijadwalkan mengunjungi Washington pekan ini untuk membahas cara mencegah Trump meninggalkan Ukraina demi kesepakatan damai dengan Rusia.
Rusia luncurkan serangan drone terbesar Sejak invasi dimulai
Sebelumnya pada Minggu, Zelensky melaporkan bahwa Rusia telah meluncurkan 267 drone ke wilayah Ukraina dalam satu malam, menjadikannya serangan drone terbesar sejak awal perang.
Angkatan Udara Ukraina mengklaim telah menembak jatuh 138 drone di 13 wilayah, sementara 119 lainnya hilang dalam perjalanan menuju targetnya. Selain itu, tiga rudal balistik juga ditembakkan ke Ukraina, yang menyebabkan satu korban jiwa di kota Kryvyi Rih.
Menanggapi serangan tersebut, Menteri Luar Negeri Ukraina, Andrii Sybiha, mengingatkan dunia agar tidak mempercayai janji-janji Rusia.
“Tidak ada yang seharusnya mempercayai kata-kata Putin. Lihatlah tindakannya,” tulis Sybiha di media sosial.
(Muhammad Reyhansyah)