Purbaya Ogah Burden Sharing, Ini Pengertiannya

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: dok YouTube Kemenkeu.

Purbaya Ogah Burden Sharing, Ini Pengertiannya

Ade Hapsari Lestarini • 30 October 2025 15:55

Jakarta: Burden sharing atau skema berbagi beban menjadi salah satu kebijakan yang mengemuka selama masa krisis, terutama saat penanganan pandemi covid-19 lalu. Kebijakan ini diterapkan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah sebagai langkah darurat untuk menjaga stabilitas keuangan negara.

Pada dasarnya, burden sharing merupakan skema kerja sama antara bank sentral dan pemerintah untuk membiayai kebutuhan ekonomi di masa genting. Dilansir dari laman OCBC, mekanisme utamanya adalah BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) secara langsung di pasar perdana.

Pembelian SBN di pasar perdana oleh bank sentral ini merupakan langkah non-konvensional. Dalam kondisi normal, BI hanya berperan sebagai standby buyer di pasar sekunder. Kebijakan ini awalnya dirancang sebagai one-off policy atau kebijakan sekali jalan, namun diperpanjang hingga 2022 karena tingginya kebutuhan pembiayaan saat itu.

Penguatan landasan hukum kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang disahkan pada 3 Januari 2023. Skema ini bertujuan memastikan pembiayaan bersama atas beban ekonomi yang melonjak akibat krisis.


Ilustrasi Gedung Bank Indonesia (BI). Foto: dok BI
 

 

Manfaat meringankan APBN


Penerapan skema burden sharing terbukti memberikan sejumlah manfaat signifikan, terutama dalam mengurangi tekanan pada APBN akibat lonjakan pembiayaan covid-19. Pemerintah menjadi pihak yang sangat terbantu oleh kebijakan ini.

Manfaat terbesar adalah penghematan anggaran negara. Rasio belanja bunga utang pemerintah tercatat turun dari 16,2 persen atau Rp438 triliun menjadi 14,6 persen atau Rp395 triliun pada 2022. Selain itu, intervensi BI yang menyerap penerbitan SBN pemerintah juga membantu mengendalikan jumlah peredaran obligasi di pasar sehingga memberikan sentimen positif bagi pasar keuangan.
 

Risiko burden sharing jangka panjang


Meski efektif sebagai solusi jangka pendek, burden sharing tidak lepas dari dampak negatif dan risiko jangka panjang. Para pengamat ekonomi menyoroti beberapa potensi masalah yang dapat timbul jika kebijakan ini diterapkan secara terus-menerus. Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk debt monetization karena BI pada dasarnya "mencetak uang" untuk membeli utang pemerintah. Berikut adalah beberapa risiko utama yang menyertainya:
  • Memicu Inflasi: Peningkatan jumlah uang beredar akibat debt monetization berisiko memicu inflasi tinggi.
  • Pelemahan Rupiah: Inflasi dan penambahan suplai uang dapat menekan nilai tukar rupiah.
  • Moral Hazard: Muncul risiko moral hazard ketika pemerintah menjadi kurang disiplin dalam mengelola belanja negara karena terlalu bergantung pada BI sebagai sumber pembiayaan.

Dampak negatif kebijakan ini sempat terlihat pada dinamika pasar keuangan. Pada Juni 2020, penerapan skema ini sempat memicu aliran modal keluar (capital outflow) sebesar Rp8,39 triliun, yang terdiri dari Rp6,80 triliun di SBN dan Rp1,59 triliun di saham.

Nilai tukar rupiah juga tercatat mengalami pelemahan sebesar 1,8 persen pada Juli 2020 dan terdepresiasi 3,6 persen sepanjang 2020. Risiko lain yang dikhawatirkan adalah potensi penurunan peringkat kredit negara, yang dapat menurunkan kepercayaan investor internasional terhadap stabilitas fiskal Indonesia.

Secara keseluruhan, burden sharing dinilai sebagai kebijakan darurat yang efektif membantu Indonesia menghadapi guncangan krisis. Namun, penerapannya menuntut disiplin fiskal yang ketat dan transparansi agar risiko inflasi serta gejolak nilai tukar di masa depan dapat dihindari. (Daffa Yazid Fadhlan)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Ade Hapsari Lestarini)