Sofyan Sjaf, Guru Besar Tetap Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB University. Foto: Dok/Istimewa
Desa yang menjadi rumah mayoritas rakyat Indonesia masih terus terperangkap dalam kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan struktural. Akar persoalan ini, tidak semata-mata terletak pada kekurangan anggaran atau program, melainkan cara negara memandang dan memperlakukan desa sebagai objek pembangunan.
Pusat dari relasi timpang ini adalah sistem pendataan yang top-down, agregatif, dan tidak partisipatif, yang tidak menangkap keragaman sosial, budaya, dan kerentanan lokal. Warga desa tidak mengetahui tentang data apa yang dikumpulkan tentangmereka, oleh siapa, dan untuk kepentingan apa.
Akibatnya, mereka menjadi tidak terlihat dalam kebijakan publik, terutama kelompok rentan, seperti: perempuan kepala keluarga, lansia, atau anak-anak disabilitas. Dalam banyak kasus, pendataan yang tidak akurat menyebabkan program bantuan sosial salah sasaran, memperkuat ketimpangan, dan merusak kepercayaan sosial di tingkat lokal.
Fenomena demikian, seperti dikemukakan Nick Couldry dan Ulises Mejias, adalah bentuk konkret kolonialisme data yang tidak hanya berdampak secara administratif, tetapi juga sosiologis dan politis. Pengetahuan lokal, musyawarah warga, dan pengalaman komunitas dianggap tidak valid dalam sistem formal. Pendataan berubah menjadi proses ekstraktif, di mana warga hanya menjadi objek pencatatan, tanpa partisipasi, dan tanpa kendali atas data mereka sendiri.
Sebagai respons atas kondisi tersebut, ditawarkan pendekatan Data Desa Presisi (DDP). DDP bukan sekadar inovasi teknis, melainkan sebuah gerakan epistemik dekolonisasi data. DDP memadukan pendekatan mikro spasial, sensus menyeluruh, dan partisipasi warga secara aktif dalam seluruh proses. Dalam DDP, desa menjadi subjek pengetahuan: warga bukan hanya pemberi data, tetapi juga penafsir, pengguna, dan pemilik data.
DDP mengusung tiga prinsip utama: (1) setiap keluarga terpetakan secara spasial dan sosial; (2) data digunakan untuk musyawarah dan pengambilan keputusan lokal, bukan hanya laporan birokratis; dan (3) desa memiliki kontrol penuh atas data, termasuk hak untuk menyimpan, mengatur akses, dan menggunakan data secara mandiri. Dalam hal ini, DDP merupakan bentuk nyata dari dekolonisasi data dan menjadi gerakan tindakan kolektif warga menuju kedaulatan pengetahuan.
Seruan manifesto kolektif dibutuhkan untuk membangun sistem data yang adil, partisipatif, dan demokratis; mendesak negara mengakui data komunitas sebagai dasar kebijakan; serta membangun aliansi antara desa, kampus, dan jaringan sipil sebagai kekuatan baru pengetahuan. Dalam dunia yang dipenuhi oleh
dashboarddan algoritma, masa depan pembangunan harus dimulai dari desa—dari data yang dimiliki, dipahami, dan diperjuangkan oleh warga itu sendiri.
Kehadiran inovasi DDP pada prinsipnya menjembatani realisasi
democratic rural development yang diyakini para pendiri bangsa sebagai solusi kemajuan bangsa dan negara Indonesia: dari demokratisasi data ke demokratisasi pembangunan desa. Untuk itu, pembahasan RUU Statistik penting dibaca sebagai arena politik yang menentukan arah masa depan demokrasi data di negeri ini.
Berangkat dari refleksi pengalaman dan pergulatan gagasan Data Desa Presisi di lapangan, dapat saya sampai beberapa rekomendasi, yaitu
pertama, pengakuan atas data komunitas sebagai sumber sah;
kedua, desentralisasi produksi data;
ketiga, kedaulatan data komunitas; dan
keempat, proteksi terhadap penyalahgunaan data.
Oleh: Sofyan Sjaf, Guru Besar Tetap Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB University